Kata Pesan

SELAMAT DATANG DI DUNIA CERPEN KARYA SISWA MAN TULUNGAGUNG 1

Selasa, 27 Desember 2011

Bang Wetan Wis Dadi Manyura

KOMPAS.com - "Bang wetan wis dadi manyura," demikian sang dalang merangkai tuturan menjelang akhir pergelaran wayang orang dengan mengunggah lakon "Bima Bungkus", saat umat Katolik, di lereng barat Gunung Merapi, merayakan malam Natal 2011. Waktu telah lepas 35 menit dari pukul 00.00 WIB, jatuh pada Minggu (25/12/2011), setelah umat setempat meneguk lakon wayang orang "Bima Bungkus" sejak Sabtu (24/12) pukul 10.15 WIB.

Pentas wayang itu oleh komunitas seniman petani Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di sebelah selatan alur Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi. Para pemain wayang orang dan penabuh gamelan pengiring kesenian tradisional itu sebagian besar bukan pemeluk Katolik. Lakon itu dimainkan dengan dalang yang sekaligus pemimpin padepokan seni budaya tersebut, Sitras Anjilin, di gereja Gubug Selo Merapi (GSPi), di sebelah utara Kali Senowo.

Pergelaran tersebut usai ratusan umat Katolik lereng barat Gunung Merapi mengikuti misa kudus malam Natal dipimpin Kepala Gereja Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber Romo Aloysius Gonzaga Luhur Prihadi secara takzim dalam bahasa Jawa dengan iringan tabuhan gamelan.

Sitras usai pementasan itu menjelaskan tentang ungkapan "Bang wetan wis dadi manyura" yang maksudnya sebagai matahari sudah terbit pertanda lazimnya pergelaran wayang segera berakhir.
"Selain itu, matahari sudah terbit, juga bisa diartikan sebagai ungkapan penyambutan bahwa Yesus yang diimani oleh umat kristiani sebagai Putra Allah dan penebus dosa manusia sudah lahir. Umat dengan gembira merayakan kelahiran Yesus," katanya.

Lakon wayang orang "Bima Bungkus", cuplikan kisah pewayangan Mahabarata, mereka mainkan di GSPi, usai tempat itu digunakan untuk misa kudus malam Natal oleh umat setempat.
Iringan musik dengan pimpinan pengendang Jakasena dan sinden Martijah. Warga setempat lainnya termasuk pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sutanto Mendut, pengajar Institut Kesenian Jakarta Maria Dharmaningsih, pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta Wenti Nuryani.
Juga dua mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga turut menyaksikan pergelaran tersebut. Mereka yang hadir di GSPi malam itu, usai misa juga menikmati santap malam bersama dalam kemasan Pesta Rakyat Malam Natal dengan menu antara lain nasi jagung, nasi pecel, nasi soto, dan nasi urap.

Melalui pergelaran itu diceritakan bahwa Bima (Saparno), anak Raden Pandu (Widyo Sumpeno) dengan Dewi Kunti (Purwanti) telah lahir. Tetapi selama enam tahun Bima terbungkus selaput daging. Bima bungkus yang dalam pementasan itu ditandai dengan properti benda bundar tertutup kain hitam itu dikisahkan berada di hutan dan dijaga para prajurit dipimpin Patih Gandamana (Surawan).

Arya Suman (Suwonto) yang juga bernama Sengkuni diceritakan khawatir jika Bima terbebas dari bungkusnya, anak pertama Pandu dengan Kunti itu akan menggusur kekuasaan Kurawa (100 anak Raden Destarasta dengan Dewi Madrim) atas Kerajaan Astina. Ia kemudian memerintahkan para Kurawa dan para raja raksasa dari Kerajaan Ngargopuro pimpinan Wisakrama untuk membunuh Bima, mumpung Bima masih tak berdaya karena terbungkus selaput daging.

Upaya membunuh Bima gagal karena mereka kalah dalam peperangan menghadapi Patih Gandamana dengan para prajuritnya, sedangkan selaput daging pembungkus Bima itu memiliki kesaktian dan tidak mempan terhadap tebasan berbagai senjata.

Pada adegan berikutnya dikisahkan bahwa Gajahsena (Sumarno) ingin hidup di surga karena sudah lama tinggal di dunia. Para dewa berjanji mengabulkan keinginan tokoh wayang berupa gajah itu dengan syarat Gajahsena mampu membedah bungkus Bima. Ketika itu, keberadaan Bima dalam bungkus sudah berumur delapan tahun, sedangkan Kunti diceritakan sang dalang telah melahirkan anak kedua, Yudistira.
Semula upaya Gajahsena gagal, tetapi Yudistira menebarkan gabah ke bungkus Bima dan kemudian Gajahsena "mengiles-iles" atau menginjak-injak bungkus itu. Sedikit demi sedikit bungkus itu tergores, bedah, dan akhirnya Bima bisa keluar. Bima yang sudah keluar dari bungkusnya juga dikisahkan memenangi perang tanding melawan Gajahsena.

Batara Narada (Sarwoto) kemudian turun dari khayangan menemui Pandu, Kunti, Bima, dan para prajuritnya untuk menjelaskan bahwa nyawa Gajahsena telah masuk surga sedangkan kesaktiannya "manjing" atau menambah kedigdayaan Bima. Kesaktian Bima tersebut untuk kekuatannya kelak, saat Perang Baratayuda antara Pandawa melawan Kurawa.

Selain itu, selama Bima berada dalam bungkus sebagai waktu bertapa yang harus dijalani untuk mendapatkan kesaktian. Setelah keluar dari bungkus, ia kemudian memiliki sejumlah nama antara lain Aryosena, Bimasena, Bratasena, dan Wijasena.

"Lakon ini bercerita tentang kelahiran seorang perwira yang berguna untuk kehidupan di dunia. Sifat-sifat keperwiraan Bima sebagai panglima perang atau pemimpin dan karakter yang kukuh atas cita-citanya yang luhur, barangkali bisa menjadi cermin umat saat mereka merayakan Natal tahun ini," kata Sitras yang juga salah satu pemimpin para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Magelang itu.

Saat khotbah misa kudus malam Natal selama dua jam di GSPi itu, Romo Luhur mengatakan bahwa momentum rohani kelahiran Yesus itu dirayakan umat dengan kegembiraan hari. "Malam ini kita merayakan kelahiran Yesus di Betlehem. Tuhan datang di hati kita, membuat hidup menjadi baru dan elok," katanya.
Kegembiraan hati umat Katolik lereng Merapi saat Natal itu kian diperkuat melalui pergelaran wayang orang "Bima Bungkus" yang bercerita tentang makna suatu kelahiran. Dalam iringan tabuhan gamelan pelog "pathet nem" dipimpin pengendang Sutar, umat pun melantunkan refrain kidung mazmur bersyair Jawa "Dina iki sang Pamarta wus miyos ing donya. Panjenengane iku Sang Penebus Gusti Yesus Kristus". Kira-kira artinya "Hari ini Putra Allah sudah datang ke dunia. Dia adalah Sang Penebus, Yesus Kristus". Selamat Natal.
 
Sumber :
ANT
http://oase.kompas.com/read/2011/12/26/22461867/Bang.Wetan.Wis.Dadi.Manyura

Anak Saya Seorang Presiden

Oleh: Ramdhani Nur
Anak saya yang baru saja duduk dikelas 1 SD yakin sekali jika besar nanti, dia akan menjadi seorang presiden. Entah dari mana pemikiran itu datang. Setahu saya dia jarang menonton berita di televisi dimana wajah presiden biasanya sering nongol. Tidak juga dari orang lain yang memberinya gambaran masa depan menjadi seorang yang berkuasa seperti itu. Dan yang jelas kami sama sekali tidak memajang foto presiden dan wakilnya di sisi tembok manapun di rumah kami, sehingga tidak ada pertanyaan darinya tentang seseorang yang tersenyum optimis di depan bendera merah putih itu. Tapi anehnya justru setiap orang yang bertanya soal cita-citanya kelak, dia akan menjawab tegas, gembira seperti anak kecil yang hendak mendapat hadiah: “Adi akan jadi Presiden!”

Entah mengapa pemikiran tentang menjadi presiden itu bagi saya adalah sebuah penyimpangan!
“Kamu terlalu berlebihan!” itu kata istri saya. “Umurnya saja belum tujuh tahun. Dia akan bilang ingin menjadi apa saja yang dia anggap hebat. Kalau dia bilang ingin jadi presiden mungkin sosok itulah yang dia anggap hebat.”

“Masalahnya dia tidak bilang begitu. Dia bilang, dia akan menjadi presiden. Ini dua hal yang sangat berbeda. Ingin dan akan. Bagaimana anak sekecil itu sudah bisa mengantisapasi masa depannya dan mengira akan menjadi presiden!”
“Kamu terlalu berlebihan!”
“Kamu sudah bilang itu tadi.”
“Ya, artinya kamu sudah terlalu berlebihan!”

Saya tahu percakapan ini tidak akan mengarah pada satu kecocokan. Istri saya tidak akan memperpanjang percakapan yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Dia wanita sederhana yang menganggap bahwa kehidupannya dan sesuatu yang bersangkutan dengannya akan berlangsung wajar-wajar saja, sama seperti kehidupan banyak orang. Dia tidak bisa menerima kejutan-kejutan di dalam hidupnya, atau akhirnya dia akan menganggap itu sebaggai sebuah kenormalan juga. Artinya dalam kasus ini, saya harus mengantisipasinya sendiri. Dimana saya akan membiarkan istri saya menangani kehidupan normalnya seperti sarapan, sekolah, mengajarinya berhitung, ikut bermain, dan hal-hal lain semacam itu. Sementara saya akan tetap waspada pada penyimpangan keinginannya itu.

* * *

“Jadi kau tidak suka kalau anakmu jadi presiden?” tanya ayah ketika ia berkunjung ke rumah. Saya tahu ini rencana istri saya setelah pembicaraan dengannya beberapa waktu yang lalu. Dia tetap menganggap kalau pemikiran yang menyimpang itu justru ada pada saya.
“Tidak ada orang tua yang tidak suka anaknya menjadi presiden.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Masalanya dia baru berumur tujuh tahun.”
“Dan dia tidak boleh bercita-cita?”
“Dia tidak bercita-cita. Dia akan menjadi presiden!”
“Lalu apa yang kau takutkan?”
“Entahlah…, bagiku ini suatu penyimpangan. Di umurnya yang sekarang dia sudah yakin akan menjadi presiden. Saya khawatir selama perkembangan hidupnya nanti pikiran itu menjadi sebuah obsesinya. Di sekolahnya dia akan berkoar-koar menjadi seorang presiden. Kemudian dia akan kuliah di fakultas hukum atau ekonomi, setelah lulus dia akan bergabung dengan partai politik besar. Bayangkan, hal buruk apa yang tidak bakal dia lalukan untuk memenuhi keingingiannya itu. Dia akan lebih parah dari Hitler karena telah menanam obsesi politiknya dari kelas 1 SD.”

“Kau ini terlalu berlebihan! Dia masih kecil, keinginannya akan berubah nanti.”
“Tidak juga! Kalau dia bilang akan menjadi Power Ranger atau Superman itu bisa berubah. Di umur 10 tahun nanti dia akan memilih cita-cita yang lain karena pada saat itu dia akan ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi dengan menjadi presiden lecehan teman-temannya justru akan menjadi cambuk bahwa dia bisa membuktikan keinginannya itu.”

“Kau ini aneh! Waktu kau seusia dia yang aku khawatirkan darimu adalah kau tidak punya keinginan apapun. Setiap orang yang bertanya cita-cita padamu kau pasti cuma terdiam. Kau tidak menyebutkan mau jadi apa kelak, tapi itu tidak berarti kau tidak menjadi apa-apa sekarang.”

Sepertinya ayah saya benar. Mungkin memang tidak ada kaitannya antara keinginan masa kecil dan kenyataannya di kemudian hari. Dalam hal ini saya memang terlalu berlebihan.
Sejak pembicaraan dengan ayah saya itu rasa khawatir saya terhadap cita-cita anak saya semakin memudar. Apalagi sejauh ini saya tidak menemukan penyimpangan dari kesehariannya di rumah. Dia masih suka menonton film kartun di tv, bermain sepeda atau bermain bola jika ada yang mengajak. Saya mulai percaya pandangan istri saya bahwa hidup kami akan berlangsung wajar dan normal-normal saja. Tapi semua berubah, ketika dia pulang dari bermain bersama salah satu temannya. Saat saya tanya siapa temannya itu, dengan tenang dan berwibawa seperti anak sekolah yang baru naik kelas dengan nilai raport yang sempurna dia menjawab: “Ini Reza, Pah! Dia mentri pertahanan Adi!”
Terbukti kan!!!

* * *

Malamnya, setelah kembali membincangkan masalah ini dengan istri saya yang juga tidak berujung pada kecocokan, saya putuskan untuk berbicara langsung dengan anak saya, meski hal ini sangat ditentangnya. Katanya ini akan membunuh salah satu harapan terbesarnya, salah satu fantasi terhebatnya, dan itu yang malah bakal mempengaruhi perkembangannya nanti. Tapi akhirnya dia pasrah saja ketika saya duduk di ranjang anak saya saat dia meminta didongengkan sebuah kisah.
“Kenapa Adi ingin jadi presiden?” tanya saya ketika dia mulai jenuh dengan dongengan saya.
“Abis hebat sih, Pah! Presiden kan bisa punya mobil bagus, terbang pake pesawat, punya rumah besar dan kaya…”

Untunglah gambaran itu yang ia dapatkan dari sosok seorang presiden.
“…bisa ngatur-ngatur orang, punya tentara sendiri, bisa buat perang…”
Oh, tidak juga ternyata!!!
“…bisa nyerang musuh… dor dor dor!”
Lalu seperti tertarik pada khayalannya itu, saya baru berani bertanya, “emang presiden bisa buat perang ya?”
“Bisa dong! Kan presiden yang paling berkuasa!”

“Betul, tapi tugas presiden juga berat karena yang ngasih kekuasan itu kita… rakyatnya. Kalau presidennya nanti nggak bisa ngatur negara dengan bener, nggak bisa ngasih uang dan makanan buat rakyatnya yang miskin, nggak bisa sekolahin anak-anak sampai tinggi, nggak bisa melindungi rakyatnya yang lemah, nanti malah rakyatnya yang akan marah, karena dia nggak bisa ngejalanin amanat mereka. Bukan itu saja, Tuhan juga akan marah. Karena Tuhan tidak suka sama orang yang tidak amanah.”
“Tuhan akan marah sama presiden?”
“Ya!”
“Apa presiden takut sama Tuhan?”
“Tentu saja!”
“Kenapa?”
“Karena presiden itu cuma manusia dan Tuhanlah yang menciptakan manusia. Tuhan juga yang menciptakan presiden. Tuhan bisa berbuat apa saja pada ciptaannya. Karena Tuhanlah yang paling berkuasa.”
Anak itu termenung lama. Entahlah, apa cerita saya tadi benar-benar bisa dimengerti olehnya, yang jelas dia seperti menemukan kebenaran baru. Lalu setelah saya bercerita tentang sebuah dongeng lain, dia kemudian terlelap.

* * *

Besok-besoknya saya tidak pernah mendengar lagi keinginannya untuk menjadi presiden. Bayangan tentang itu sepertinya sudah lumer di otaknya. Terkadang saya merasa bersalah juga karena telah menghancurkan impian seorang anak kecil untuk menjadi sesuatu karena sebuah kekhawatiaran saya yang terlalu berlebihan. Tapi mungkin itu jalan yang harus dilalui sehingga dia tidak perlu melewati gurun yang menghanguskan nantinya. Saya beruntung karena sampai saat ini saya masih belum menemukan keanehan prilaku dia sehari-hari. Dia tetap gembira dan tertawa. Apalagi ketika kakeknya menggendong dia di atas pundaknya, dia semakin girang saja. Ini makin membuat saya yakin kalau saya tidak membuat kesalahan.

“Adi, turun! Kasihan kakek dong!” teriak istriku sambil membawa minuman dingin ke teras rumah di halaman belakang.
“Kakek capek?”
“Ya, kakek harus minum es buatan Mamamu dulu biar seger lagi.”
“Minum jamu juga ya? Kata Mama, Kakek suka minum jamu!”
“Kadang-kadang Kakek juga suka minum jamu biar sehat terus. Nah, kalo Adi harus banyak minum susu biar cepat besar, biar cepat jadi presiden seperti cita-cita Adi.”
“Adi tidak mau jadi presiden!”
Benar kan! Memang benar-benar sudah hilang keinginannya itu. Setelah ini saya percaya dia akan memilih menjadi sesuatu yang lain yang lebih realistis.
“Terus Adi mau jadi apa?” tanya kakeknya kemudian.
Lalu dengan penuh percaya diri persis seperti seorang anak kecil yang baru memenangkan lomba dia menjawab dengan tegas dan berwibawa: “Adi mau menjadi Tuhan!”
Blasss…tiba-tiba seluruh badan saya langsung lemas.

***

Cirebon, revisi 2011
http://oase.kompas.com/read/2011/12/13/1214218/Anak.Saya.Seorang.Presiden

Kembang Desa Pulang Kampung

Cerpen Janu Jolang
Apalagi Pak Kyai statusnya masih single belum menikah. Yuni tetap menghormati Pak Kyai sebagai panutan moral warga dusun Adem Ayem.
Dusun Adem Ayem digegerkan oleh kedatangan Yuni Amperawati mantan kembang desa puluhan tahun silam. Tak seorangpun tahu kapan Yuni meninggalkan kampung. Ibunya menangis dan hanya bilang Yuni pergi merantau, entah ke Arab, Taiwan, Jepang, atau hanya ke Jakarta. Kala itu banyak pemuda dusun patah hati. Dan kini ketika Yuni pulang -- tak seorangpun mengendus kehadirannya kecuali sisa-sisa kecantikan yang masih terpancar di wajah dan tubuhnya.

Warga dusun Adem Ayem amatlah bersahaja, sopan, dan religius. Pak Kyai Joko sebagai panutan dan pengayom warga dusun punya peran penting dalam menjaga keharmonisan hidup sehari-hari. Hanya bu Sastro, istri Pak Kepala Dusun agak terganggu dengan kepulangan Yuni.

Tak butuh waktu lama Yuni dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang pernah jadi kesehariannya. Selain ramah, Yuni kini menjadi seorang wanita yang sublim dan mandiri. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu yu Warti memasak untuk santri Pak Kyai.

Kebiasaan di dusun Adem Ayem, hari Minggu pagi, Ibu-ibu mencuci pakaian di sungai, bapak-bapak memandikan kerbaunya, sementara anak-anak cebur – cebur-an, mandi telanjang. Beratraksi salto, menukik, atau pantatnya menghantam air hingga mengeluarkan bunyi berdebam. Yuni tersenyum melihat tingkah polah anak-anak.

Maklum anak-anak, tak ada rasa risih walau mereka telanjang bulat dan alat kelaminnya lari kemana-mana. Tabu ketika mereka sudah akil baliq, dan alat tersebut sudah bisa berfungsi sebagai alat reproduksi. Dalam bahasa jawa, sebutan thithit -- berubah menjadi “anu”,  ya karena “anu” tidak layak diucapkan secara terang-terangan, tertulis, atau di depan publik. Dan mengenai “anu” inilah biang keladi Yuni mendapat masalah yang membuat geger dusun Adem Ayem.

Kejadiannya bermula saat Pak Kyai Joko mengadakan pengajian di suraunya. Semua santri dan warga dusun Adem Ayem hadir bersimpuh di atas tikar, menyimak tausiyah Pak Kyai yang bersuara bariton empuk. Semilir angin malam itu sesekali membawa bau kotoran sapi dari kandang belakang milik pak Kyai. Tapi itu tak mengurangi suasana syahdu yang menenangkan hati. Yuni ikut hadir, khidmat memperhatikan ajaran Pak Kyai.

Tiba-tiba ada seekor lalat Ijo hinggap di jidat Yuni, barangkali kabur dari kandang sapi di belakang rumah Pak Kyai. Dan Atun yang berada di sebelah Yuni tiba-tiba secara reflek menepuk lalat itu. Warga yang hadir tak mengetahui kejadian itu sampai Yuni berteriak kaget, “ Eh.. Anu ... anu .....(menyebut alat vital laki-laki dewasa).. eeh anu ... Ya Tuhan .... maaf.”

Semua hadirin tersentak kaget. Pandangan mereka mengarah ke Yuni yang tertunduk malu. Bu Sastro istri pak Kadus memandang Yuni dengan jijik. Di tengah suasana khusuk menghadapkan diri kepada Tuhan, terselip kata-kata tak senonoh keluar dari mulut Yuni, tentang alat kelamin laki-laki dewasa..
Konon kebiasaan “latah” adalah bentuk pertahanan diri ketika ia kaget atau sering dikageti. Insting itu tersambung  cepat ke kosa kata di otaknya, entah itu punya arti menyenangkan, lucu, atau bahkan traumatis. Hal itu sangatlah alamiah dan dapat dimaklumi. Tapi jika itu terjadi pada acara suci keagamaan apakah itu bisa dimaklumi? Yuni kini menanggung semua akibatnya.

Keesokan paginya berita itu cepat menyebar. Ibu-ibu yang tadinya akrab kini menjaga jarak, saling berbisik, dan menghindar. Tak butuh waktu lama, beredarlah rumor kalau Yuni adalah perempuan nakal yang suka mangkal di warung remang-remang, menunggu supir-supir truck melepas lelah, sambil menawarkan tubuhnya dengan genit. Rumor tak berhenti di situ, sebaliknya malah tambah hebat, ada pihak ketiga yang sengaja menghembuskannya. Bu Kadus sendiri tampak vokal seolah dia sedang mensosialisasikan program kesejahteraan keluarga layaknya Pos Yandu.

Yang bikin Yuni jengkel, anak-anak kini sering mengageti dirinya, entah Ia sedang di pekarangan, di sungai, atau di jalan. Latah joroknya jadi kumat, anak-anak tertawa, sambil berlari-lari dan ikut menirukan latahnya. Ibu-ibu yang mendengar mengingatkan, “ Eeeh bocah-bocah jangan ngomong saru yaaa.”
Para orang tua kewalahan dan mengadu pada Pak Sastro. Yuni tepekur sedih. Ia tak mau lagi terusir dari dusun Adem Ayem seperti dulu. Ya.. Yuni ingat waktu remaja dulu, ketika Wati anak Pak Yudo Kadus jamannya, selalu merasa iri pada dirinya. Ketika ia menjadi juara kelas mengalahkan Wati, menjadi penari kebanggaan warga dusun, dan yang paling telak adalah Sastro -- ketua pemuda dusun -- yang lebih memilih dirinya daripada Wati anak Pak Kadus.

Hingga pada suatu hari kejadian luar biasa terjadi, waktu Ia diminta membantu pernikahan Tatik anak pak Kadus yang tertua, dan ketika perhiasan emas dan uang seserahan dari mempelai pria itu tiba-tiba hilang  berpindah tangan dan secara ajaib berada di dalam saku jaketnya yg digantungkannya di kamar rias. Maka dia mengerti bahwa Wati telah menjebaknya. Dan akhirnya dengan penyelesaian “kekeluargaan” Yuni terpaksa meninggalkan dusunnya, meninggalkan Sastro dan segala impian indah masa depannya.

*****

Bu Sastro alias Wati istri pak Kaduslah yang kini paling vokal bersuara. Kepada suaminya ia berkata, "Semenjak kedatangan Yuni, dusun kita jadi berubah tidak tentram, pakne.”
Pak Sastro yang melihat gelagat buruk Bu Sastro menghela nafas panjang. Ia tahu Yuni adalah pribadi yang baik hati. Ia lantas teringat kejadian puluhan tahun silam, ketika masa remaja, ketika Yuni telah mencuri hatinya, dan itu membuat Wati cemburu. Dan rasa cinta yang baru mekar itu tiba-tiba layu ketika Yuni meninggalkan dusun Adem Ayem dengan tiba-tiba, tanpa pamit, sepertinya ada sesuatu yang janggal dengan kepergiannya.

“ Ya nanti aku tak “rembugan” dengan dik Joko.”
“ Pak ne tau apa? Diusir saja, demi ketentraman warga dusun.”
“ Ya ojo kesusu to bu.”
“ Pokoknya lebih cepat lebih baik, pakne.”

Pak Kadus segera menyuruh pembantunya memanggil Kyai Joko. Diantara pembicaraan bertiga, Pak Kyai menengahi, “ Janganlah kita berburuk sangka dulu, bu. Lebih baik kita “khusnudzon” saja. Semua orang tempatnya salah, tetapi sebaik-baik orang yang berbuat banyak kesalahan itu adalah orang-orang yang banyak bertaubat."

“ Dik Joko tahu, si Kelik tukang ojeg yang mangkal di terminal itu bilang kalo Yuni suka mangkal di warung-warung pangkalan truk. Nama dusun kita akan cemar. Ibu-ibu PKK mulai cemas lho dik Joko. Khawatir kalau nanti Yuni menggoda suami – suami mereka.”

“Ya sabar bu Sastro.... Boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal kita tidak tahu bahwa sesungguhnya itu amat baik bagi kita. Dan belum tentu apa yang menurut kita baik, padahal sebetulnya itu hal yang buruk bagi kita. Allah Maha Mengetahui. Saya akan berbicara dengan Yuni bu Sastro...”

*******

Dan mulailah Kyai Joko, atas permintaan Pak Kadus, menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Dalam pembicaraan di surau Kyai Joko yang mengenyam pendidikan keguruan di IKIP menerapkan pendekatan psikologis pengajaran untuk menghilangkan “latah”nya Yuni.

“Jeng Yuni, kebiasaan latah jorok yang keluar dari mulutmu sudah membuat warga Adem Ayem geger.”
“Iya Pak Kyai, mohon maaf. Saya harus bagaimana? Apapun akan saya kerjakan asalkan saya jangan diusir dari dusun Adem Ayem. Saya ingin menghabiskan masa tua dan mati di dusun ini.”

“ Baiklah saya akan bantu, coba jeng Yuni.... bagaimana kalau yang sudah-sudah itu, latahnya lebih baik diganti dengan menyebut asma Allah. Subhanallah boleh. Masya Allah boleh. Atau Allahu Akbar. Setuju?”
“ Ya ya ya Pak Kyai. Saya akan mencoba ...”

Dan ketika Pak Kyai Joko mencoba mengageti Yuni, dan kebiasaan latah joroknya masih tetap saja, Pak Kyai hanya geleng-geleng kepala sambil tersipu malu. Orang-orang yang lewat di depan surau dan mendengar tersenyum kecut.

Mungkin besok bisa berubah, atau minggu depan. Dan ketika sampai berhari-hari Yuni tak bisa melepas kebiasaanya, maka Pak Kyai tak kehilangan kesabarannya.
Ia kemudian membuat target antara, dengan membelokkan latah joroknya menjadi Eh copot .. copot. Ya... ia sering melihat orang-orang yang latah mengucapkan kalimat seperti itu. Hal yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Adi Bing Slamet lewat lagu Mak Inemnya waktu kecil.

Akhirnya, walau memakan waktu lama, ternyata usaha itu berhasil. Pak Kyai Joko merasa senang. Juga Yuni. Kini kalau ada sesuatu yang mengejutkan Yuni maka kata-kata yang keluar adalah:” Eh copot ..copot”, bukan latah jorok yang dulu "Eh ..anu ... anu."
Mendengar itu Pak Kadus ikut senang, anak-anakpun juga senang dan sekarang mereka mengikuti latah barunya Jeng Yuni, eh copot...copot, sambil tertawa-tawa gembira. Ibu-ibu dusun Adem Ayem menjadi tenang, hanya Bu Kadus seorang diri merasa sebaliknya.
Bersyukur dan berbahagialah seseorang yang dibimbing alim ulama, yang selalu mengajarkan suri tauladan, kebaikan, cinta kasih, tata krama, sopan berbahasa, budi pekerti dan berkaca diri. Yuni merasakan kehadiran Kyai Joko sangat dekat dalam dirinya.

**********

Di sela-sela waktu longgar seputar surau siang itu, Pak Kyai Joko sedang terlibat pembicaraan dengan Yuni . Kali ini tidak lagi membahas “latahnya” melainkan hal lain.

“Jeng Yuni masih kayak dulu lho, awet muda... Resepnya apa? Mbok aku dikasih tau."

Yuni kaget dengan pertanyaan itu. Ia tak menyangka ucapan Pak Kyai akan seperti itu. Jangan-jangan kebiasaan joroknya selama ini mengakibatkan timbulnya kegelisahan terpendam pada diri Pak Kyai. Tapi ingatan Yuni  langsung melayang ke masa mudanya ketika si Joko, adik kelasnya waktu di SMP dulu terlihat mencoba mendekati dirinya. Yuni ingat ketika Joko memboncengkan dirinya dalam karnaval sepeda 17 an. Juga beberapa kali pernah datang ke rumahnya.
“Aah bisa aja Pak Kyai, hmmm resepnya apa ya?? Hehehe”
“Wah ternyata sudah lama kita nggak ketemu yaa jeng ... ayo crita pengalaman merantaumu. Aku ingatnya dulu waktu zaman SMP, he he he. Jangan ngomong siapa-siapa ya jeng Yuni, aku dulu pengagum gelapmu lho.”

Dan ketika Yuni memahami bahwa Pak Kyai berubah menjadi sedikit kekanak-kanakan, tersipu-sipu malu. Ia tak merasa kehormatan Pak Kyai menjadi luntur. Semua laki-laki dewasa pada dasarnya adalah kanak-kanak yang butuh perhatian, kasih sayang, dan pelayanan. Apalagi Pak Kyai statusnya masih single belum menikah. Yuni tetap menghormati Pak Kyai sebagai panutan moral warga dusun Adem Ayem.
“Boong banget seeh .... puacarmu kan segudang...eh becanda Pak Kyai.. Aku sudah tua loh,” Yuni tersipu dan tiba-tiba ia berbicara dalam logat Betawi, barangkali dia pernah merantau di sana.
Suasana sangat akrab dan tidak formil,“ Kalo ingat jaman dulu lucu ya jeng Yuni. Waktu “mboncengin” kamu naik sepeda senangnya minta ampun. Tapi habis itu bingung mau gimana?? He he he cinta monyet ..., belum ngerti jurus-jurus merayu wanita. Jadinya diam saja, dipendam. Eeh ini jangan dimasukan hati ya, Jeng. Ini cuma pengakuan saja “

“Ha ha ha lucu....lucu...., iya ... iya tenang saja Pak Kyai, kita kan bukan hanya sudah dewasa tapi “wis tuwo”, sudah tua, hehehe..Cerita seperti ini kan jaman dulu Pak Kyai."
Pak Kyai agak tersipu, kemudian ia mencoba bersikap bijak,“Iya bener jeng Yuni, kita sudah tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kadang kita hampir menyerah pada kenyataan pahit, tapi kemudian bangkit dengan semangat. Kadang juga kalau kita kembali ke jaman kanak-kanak, rasanya semuanya indah, penuh tawa dan canda. Dan cukuplah itu sebagai kenangan indah saja. Terlalu indah untuk menjadi nyata jeng Yuni ...”

“Oh, jadi kalau sekarang Pak Kyai “udah canggih” ya cara merayunya.. hahaha. Ini becanda lho Pak Kyai.”  terlihat Yuni mulai nyaman dengan gerak gerik dan ucapannya. Terlihat dia bisa mengendalikan keadaan.
Dan kini Pak Kyai Joko tak bisa menahan perasaan hatinya, lalu mengungkapkan dengan jujur apa yang pernah dia alami sewaktu muda dulu,“ He he he sebenarnya dulu itu aku pingin deket denganmu cuma aku nggak tau “piye carane”, bagaimana caranya? Pernah aku beberapa kali main ke rumahmu cuma kok aku jadi tambah bingung he he he. Mungkin salah satunya karena kamu kakak kelasku, dan juga waktu itu Mas Sastro yang ketua pemuda desa itu tergila-gila padamu --- jadi aku minder. Kalo sekarang, mungkin kita sudah sama-sama dewasa, jadi ya yang ada sekarang adalah rasa hormat, rasa saling menghormati."
“Pak Kyai, sebenernya aku juga inget banget kejadian waktu "kita" masih SMP. Seandainya waktu bisa diputar kembali...."

Seolah Pak Kyai faham film tv Time Tunnel alias Lorong Waktu jaman kecil dulu, dan ketika dia mahasiswa belajar agama dan memahami bahwa Lorong Waktu hanyalah angan-angan belaka, tapi dengan maksud tak serius dia menjawab, “Ahh masak siy jeng Yuni ingat banget kejadian-kejadian waktu "kita" masih SMP? Andai waktu bisa diputar kembali .... Apakah kira-kira ada cerita yang berbeda?”
“Kalau waktu bisa diputar kembali???!!! Kalau kita memang gak jodoh atau gak dipertemukan sama Tuhan, yo tetep ora ketemu yo?? "Pekok” banget si aku, bodo banget siy aku!! Hahaha... “
“Eh siapa tahu dipertemukan Tuhan dikemudian hari?”
“Eh copot ... copot .... Pak Kyai .... pak Kyai,” Yuni latah karena gugup.
“Jangan panggil aku Pak Kyai ... panggil aku Joko saja.”
“Aku tak berani ... apa nanti kata warga dusun Adem Ayem kalau dengar itu.”
“Dulu waktu mboncengin kamu naik sepeda untuk pertama dan yang terakhir kalinya, he he ehem, rasanya seolah sudah jadi laki-laki gagah, gede kepala, dan bangga. Ah sayang aku dulu kurang berani, kurang nekat. Mestinya pemuda-pemuda yang naksir kamu itu tak aku gubris, atau kulawan. Jeng Yuni, maukah menikah denganku?”
“Eh copot ... copot ... Ah... Pak Kyai bercanda.”
Tak pernah terbayangkan dalam benak Pak Kyai sebelumnya --- sampai pada keinginan ingin menikahi Yuni. Yaa ..usia Yuni mateng, lekuk pinggang dan busung dadanya menandakan hormon kewanitaannya melimpah. Demikianlah bahasa alam yang terungkap ketika seorang wanita menarik lawan jenisnya, sebagai bekal untuk bertahan di muka bumi, guna meneruskan keturunannya, beranak pinak dan pada saatnya berubah jadi gendut dan menua.

Dan akhirnya dusun Adem Ayem kembali tentram dan damai. Pak Kyai Joko bisa menyelesaikan permasalahan Yuni yang bikin dusun Adem Ayem heboh. Semua merasa bahagia, win win solution. Bu Sastro kini merasa tenang bisa menghabiskan masa tuanya bersama Pak Kadus, Kyai Joko bisa menikahi pujaan hatinya, dan Yuni tak terusir lagi dari dusunnya.
Di malam dingin, diantara suara angin yang mengguncang rimbunan bambu, sepertinya terdengar sayup-sayup Yuni mengucapkan kebiasaan latahnya, dan kini malah campur aduk tak karuan,
“Ehh .. Anu-copot ...eeh anu-copot ..eh maaf Pak Kyai.“
“Hayoo ... Jeng Yuni nggak boleh latah jorok lagi yaaa,” Pak Kyai agak kecewa latah jorok Yuni muncul kembali.
“Saestu Pak Kyai ... kulo mboten goroh.” (Benar Pak Kyai ... Saya tidak bohong kok)
“Ssssttt .....diam,” bisik pak Kyai Joko.

Washington DC 2011
Janu Jolang
Pengelola Blog: www.suararantau.blogspot.com

http://oase.kompas.com/read/2011/12/14/23453091/Kembang.Desa.Pulang.Kampung

Liyangan, Kota yang Hilang karena Letusan Sindoro

Diperkirakan di atas Talud ini dahulu ada bangunan pendopo
Oleh Selsa

KOMPAS.com — Liyangan adalah kota yang hilang karena terkubur. Demikian ucapan salah seorang wisatawan dan peneliti kepurbakalaan dari Amerika Serikat yang pernah berkunjung di situs Liyangan, yang ditemukan secara tak sengaja oleh penambang pasir di dusun Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung.

Liyangan pada zaman dahulu diperkirakan merupakan salah satu kompleks perdusunan yang terkubur akibat bencana erupsi Sindoro. Belum diketahui pada abad berapa Liyangan ini terkubur oleh lahar dari Gunung Sindoro. Menurut seorang peneliti dari Belanda bernama Bemmelen (1970), antara tahun 1600-1671 telah terjadi bencana hebat berupa meletusnya Gunung Sindoro sebanyak tiga kali. Jadi kalau benar berita tentang erupsi Gunung Sindoro ini, berarti Liyangan adalah saksi bisu bagaimana Sindoro meluluhlantakkan daerah sekitarnya.

Menurut Tambah Pramono, juru pelihara Situs Liyangan, sekitar tahun 2008 beberapa penambang pasir menemukan beberapa temuan, seperti dua candi Ganesha, gerabah, talut (semacam fondasi dari bebatuan), alat penumbuk rempah-rempah dan beberapa yoni.

Lalu pada tahun 2009 ditemukan kembali beberapa bangunan. Berdasarkan gambaran hasil survei, Liyangan adalah salah satu kompleks situs permukiman, situs ritual dan pertanian. Dari data yang ada dan juga beberapa hasil penemuan, Liyangan ini merupakan satu perdusunan pada masa Kerajaan Mataram kuno.
Menurut Trihatmadji, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, penemuan situs Liyangan adalah penemuan yang spektakuler. Sementara itu berdasarkan penelitian, Liyangan dinyatakan sebagai Situs Istimewa di Indonesia. Selain bangunan candi dan juga arca-arca, di Liyangan juga ditemukan rumah panggung dari bahan kayu yang diperkirakan berusia 1.000 tahun.

Kini penggalian dan penelitian masih terus berjalan untuk menguak misteri salah satu peninggalan sejarah yang mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi.
 
Sumber :
http://oase.kompas.com/read/2011/12/21/14503695/Liyangan.Kota.yang.Hilang.karena.Letusan.Sindoro

Karang Seribu Tulisan

Cerpen: Ivan Mahendra
Setiap kali mereka menempel, setiap kali juga mereka kehilangan tulisannya. Pasang surut ombak tak bisa mengingkari orbitasi geraknya.

Saju terhenyak melihat karang tempat biasa ia menempelkan tulisannya tertelan ombak. Tersisa hanya pucuk karang. Sebuah perahu cadik di rahang pantai berliak-liuk. Ia baru ingat hari ini ombak pasang lebih awal. Dengan menggunakan langkah sampar angin, ia tarik perahu itu, lalu melilitkan talinya pada pohon kelapa.
Di pangkal karang yang tegak lurus dengan bibir pantai, seorang nelayan baru berlabuh. Ia sibuk merapikan jala, lalu memungut ikan-ikan yang keluar tong akibat guncangan ombak pasang. Nelayan itu tersenyum melihat ketidaksabaran Saju menunggu ombak surut. Berkali-kali ia mengamati sebuah kertas warna-warni berisi tulisan di tangan Saju.
“Anak itu pasti akan menempel tulisan lagi di karang seberang.” Gumam kecil Nelayan sembari mengencangkan tutup tong berisi ikan, agar ikan-ikannya tidak tumpah kembali.
Saju tidak memperhatikan sekeliling. Yang ia pikirkan hanya surut ombak, kertas-kertas berwarna-warni berisi tulisan, dan cara membaca buku usang bertuliskan “Ma-e-ma-ika”. Ia pandangi buku itu, lalu berpikir bagaimana jika judul buku ini menjadi pedoman judul buku matematika sekarang? Mungkin saat guru bertanya, “sekarang pelajaran apa anak-anak?” mereka akan menjawab, “Ma-e-ma-ika!”
Tak lama berselang, seorang lelaki berlari dari arah belakang Saju. “Saju, maaf aku telat. Beruntung kau datang cepat. Jika tidak, perahu itu sudah hilang terseret ombak. Dan kita tak bisa menyeberangi seratus jengkal laut ini, hingga sampai pada karang itu dan menempelkan tulisan kita pada dindingnya.”
Setiap harinya mereka selalu menempel tulisan di karang seberang. Sebuah karang yang terletak tak jauh dari pantai dengan posisi diapit dua buah karang dari kejauhan, sehingga membentuk seperti dua tanjung dengan sebuah titik di tengahnya, seperti titik dalam tanda kurung.
“Satu yang belum kau ucapkan, ‘mengamati SMP di pintu masuk pantai itu kan?’ Halah, sudah lupakan saja kebiasaan lalaimu itu Ibar. Esok juga kau akan mengulanginya.”
“Hahaha… Aku hanya memuaskan kepenasaranku pada SMP itu.”
“Sudahlah, kita tak mungkin bersekolah di tempat itu. Lebih baik sekarang kita menulis!”
“Tentu. Sudah berapa tulisan yang kau buat hari ini?”
“10 puisi, 1 cerpen, dan 1 artikel.”
“Ah, hari ini aku tertinggal lagi. Aku baru menyelesaikan setengahnya darimu.”
“Tak apa, masih beruntung kita bisa menulis dengan objek alam bebas, tak terbelenggu apapun,” Saju meletakkan bolpoin di buku kertas, menutupnya, lalu berbisik, “kau ingat mereka? Murid-murid SMP itu ketika mendapat PR untuk menulis tentang lingkungan sekitar?”
“Ya, ingat!” Sahut Ibar dengan wajah antusias seperti kala ikan menangkap umpan.
“Kau lihat bagaimana mereka merengek meminta kita yang mengerjakan?”
“Dengan iming-imingan makanan dan mainan itu?”
“Ya!” Saju memantapkan.
Ombak masih berdebur kencang. Keras. Hingga burung-burung pantai enggan mengecipakkan kakinya. Mungkin takut. Mungkin malu. Atau mungkin terlupa pada air yang menjadikannya lepas dahaga.
Sesekali perahu mangayun, bergeser ke kanan, ke kiri oleh lidah ombak.
“Tapi kau malah meninggalkan mereka.”
“Tidak, Ibar. Aku tidak meninggalkan mereka. Justru aku mengajarkan mereka.”
“Mengajarkan? Mengajarkan apa, Kau? Setelah Kau pergi, mereka justru kelimpungan hingga tak bisa berjalan tegak. Dan mereka pun pulang dengan kepala tertunduk.”
“Jika aku mengerjakan, mereka pasti akan kembali dengan niat yang sama. Niat penjilat! Kau mengerti, Ibar?”
Ibar menunduk tiba-tiba. Tak sepatah katapun keluar darinya. Ia bingung memikirkan antara menolong, mengajar, atau justru memerosokkan teman-temannya.
“Hei, lihat Ibar! Ombak sudah surut,” Teriak Saju tiba-tiba sembari menepuk pundak Ibar, “ayo! Segera kita menuju karang di seberang. Kita tempel tulisan hari ini pada dindingnya.”
Dengan cepat mereka mendayung. Saju sibuk mengemas buku-bukunya, buuku yang ia sewa dengan menjadi kuli bangunan dahulu di tempat penyewaannya. Setelah mendekat, ia pepetkan badan perahu dengan ujung badan karang termenonjol. Lalu ia ikatkan pada tali perahu dengan tonjolan ujung karang. Di depannya, lewat sebuah perahu bermesin dengan seorang nelayan di dalamnya.
“Ah, dinding karang ini kosong lagi. Ombak itu menyeret tulisan kita lagi.”
Setiap kali mereka menempel, setiap kali juga mereka kehilangan tulisannya. Pasang surut ombak tak bisa mengingkari orbitasi geraknya.
Di pantai, lelaki nelayan itu masih terjaga. Ia memandangi terus mereka dari kejauhan. “Anak-anak aneh.” Lalu meninggalkan pantai, sambil berkata lirik, “kerjaannya hanya main-main saja” terus berjalan menyusuri pantai, “mungkin semangat kalian tidak usang, tapi keliru tempat.” Suaranya semakin menghilang. Sosok tubuhnya semakin menjauh, terlihat kecil.
“Tak apa, Kawan! Tulisan kita akan terbaca oleh udara, laut, bulan, matahari, dan ikan-ikan di sana. Kita bisa bersahabat dengan mereka.”
“Ah… Betul, Saju! Betul. Kita memiliki keluasan. Kita juga memiliki keleluasaan.”
Saju dan Ibar telah selesai menempelkan tulisan-tulisannya hari ini pada dinding perahu. Segera berbalik kembali ke pantai, menambatkan perahu pada pohon kelapa, lalu pulang. Tak lama berselang, ombak pasang, dan segera pula tulisan itu kembali hilang. Pemikiran rumus, dan senandung cita yang tak mereka dapatkan di sekolah hilang begitu saja oleh ombak. Begitu juga keesokkan harinya. Terus. Terus setiap hari, setiap bulan, hingga setiap tahun. Mereka tak pernah mengeluh. Tak pernah merasa sia-sia tulisan-tulisannya hilang. Hingga pagi kembali hadir.
“Apa yang kalian lakukan di situ?” Tanya lelaki nelayan yang seperti biasa, berlabuh, mengurai jala, lalu mengencangkan tutup tong berisi ikan.
“Kami belajar, Pak.”
“Belajar tidak seharusnya di sini. Tidak menempel-nempel tulisan pada dinding yang sebentar saja hilang.”
“Kami lebih nyaman di sini, Pak. Kami bisa memandang langit, merasakan deburan ombak, bahkan mengintai burung-burung jantan pantai yang menguntitti burung-burung betina.” Terang Saju sesekali menatap Ibar.
“Tetapi sudah ada sekolah di daratan sana yang siap menampung kalian.”
“Ah… itu tidak benar, Pak,” potong Ibar, “sekolah di sana hanya cocok untuk orang-orang yang mampu membayar saja. Sedang kami tidak mampu membayar, maka kami tidak cocok belajar di sana.”
“Siapa bilang? Ada. Ada sekolah tanpa memungut biasa sepeserpun.”
“Benarkah? Di mana itu?” Sahut Saju.
“Lebih baik kita mendarat dulu sekarang.” Ajak Lelaki Nelayan berusia lima puluhan berkaos oblong tak bersandal itu. Pak Soleh mengawali pendaratan dengan memacu lurus perahunya. Muka perahunya memang sudah mengarah ke pantai, sedang Saju dan Ibar perlu membalikkan perahu terlebih dahulu sebelum mereka mendayung.
Pak Soleh sudah menunggu sambil duduk di dinding perahu. Saju dan Ibar merapat.
“Mari, saya antarkan.”
“Bapak yakin sekolah itu tidak memungut biaya? Bukankah kebanyakan sekolah pasti memiliki tarif biaya?” Tanya Ibar meyakinkan.
Pak Soleh tersenyum manis. Kantung matanya terlihat mengendur. Mungkin terlalu capek setelah semalaman berburu ikan. Atau mungkin memang sudah waktunya mengendur.
“Tepatnya di mana, Pak, sekolahnya? Saya tidak pernah mendengar, bahkan melihatnya.”
“Sekolah itu, sering kalian lihat, bahkan sering kalian lewati.” Saju mendesakkan kepalanya ke kepala Ibar, dan berkata lirih.
“Atau jangan-jangan sekolah yang bisa Kau intip itu, Bar?”Ibar mengangkat bahu.
Mereka berjalan di atas tanah berbatu. Di depan, muncul sebuah bangunan. Bangunan itu kerap mereka lewati saat hendak menuju pantai. Sekarang mereka bertiga tepat berada di depan gerbang sekolah. Gerbang itu terbuat dari ragumam lempengan kayu, dengan menghitam dan keropos pada bagian bawah. Seorang petugas keamanan menyambut.
“Silahkan masuk, adik-adik. Silahkan masuk Pak Soleh.”
Saju dan Ibar sontak kaget. Mereka heran. Bagaimana mungkin petugas jaga itu mengenal Pak Soleh? Padahal ia hanya seorang nelayan. Apakah ia lulusan SMP ini? Atau dulu pernah mengajar di sini? Tapi tidak mungkin. SMP ini baru berdiri dua tahun lalu. Mereka menempelkan tulisan di dinding sudah dua tahun ini, dan saat itulah mereka melihat Pak Soleh berprofesi nelayan. Kalau Pak Soleh lulusan SMP ini lebih tidak mungkin lagi. Usianya jauh lebih tua dari usia sekolah. Atau jangan-jangan pemilik sekolah ini? Tidak mungkin karena sekolah ini milik pemerintahLalu siapakah Dia? Pergumulan pertanyaan terus berlangsung dalam hati sepanjang Saju dan Iba berjalan.
Sampailah mereka di ruang tata usaha. Ruang ini memang dirancang untuk melayani penerimaan murid, karyawan, juga guru. Ruangan ini akan ramai setiap akhir bulannya. Karena saat itu para guru mengambil upah mengajarnya.
“Selamat pagi, Pak.” Saju dan Ibar semakin bingung. Mereka bukannya yang mengucapkan salam, tetapi malah yang disambut.
“Selamat pagi,” sahut Pak Soleh dengan suara berat namun tenang, “bisa minta tolong daftarkan mereka di sekolah ini?”
“Tentu, Pak.” Petugas itu langsung mengambil arsip dari brankas yang tak jauh dari meja kerjanya.
Pak Soleh keluar. Mungkin ingin mencuci muka atau membasuh kedua tangannya setelah terkontaminasi air laut. Saju dan Ibar mengisi formulir pendaftaran. Mereka tidak merasa canggung  menulis karena memang sudah kebiasaannya menulis untuk ditempelkan pada karang. Pengisian sampai pada bagian penandatangan formulir, sekaligus mengakhiri sesi penerimaan siswa baru. Mereka diperkenankan pulang. Namun mereka hanya saling lempar pandang. Jika di tempat orang, mereka akan canggung, tak seperti saat mendayung, menyeberang laut, lalu menempelkan tulisan di dinding karang. Petugas jaga segera membaca pertempuran batin murid baru itu.
“Mari, saya antar menemui Pak Soleh.”
Mereka keluar ruangan. Raut Ibar sepertinya sedang merencanakan hari esok, hari pertama kali sekolah. Namun tidak pada saju. Masih terbesit sosok Pak Soleh yang begitu tak asing di sekolah ini.
Mereka terus berjalan menyusuri latar sekolah. Saju terus saja memikirkan sembari membaca nama ruang yang tertulis pada rangka pintu atas. Perjalanan terhenti di depan sebuah ruangan yang terletak paling pojok, menghadap berlawanan dengan arah kedatangan mereka. Pak Soleh sudah berdiri. Menghadap mereka.
“Sudah selesai, Nak?”
“Ibar! Lihat! Lihat tulisan itu!”
Saju bukannya merespon pertanyaan Pak Soleh, tapi memilih mengajak Ibar membaca nama ruang.
“Benarkah itu, Saju?!”
Sebuah papan nama ruang bertuliskan:
RUANG KEPALA SEKOLAH
HEAD MASTER ROOM
SOLEH MALAINO, M.Hum.
Saju dan Ibar mendadak seperti terkena shock terapy. Mereka segera sungkem kepada Pak Soleh.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih, Pak..”
“Selamat bergabung, Nak. Besok kalian bisa mulai masuk. Seragam bebas. Tak perlu paksakan membeli seragam. Satu hal lagi, ajari siswa-siswa di sini menulis!”
Saju dan Ibar langsung pulang. Mereka tak mengira seorang nelayan yang tempo hari ia hiraukan, ternyata seorang kepala sekolah bergelar magister. Jalan nelayan Pak Soleh tempuh guna menopang biaya perlengkapan dan operasional semua murid yang tidak mampu membayar. Termasuk Saju, juga Ibar.
Keesokkan harinya, hari pertama Saju dan Ibar bersekolah. Mereka berseragam rapi, namun bukan seragam SMP. Seragam yang mereka pakai adalah seragam andalan yang biasa digunakan untuk berlebaran tiga tahun terakhir. Kini ada seorang pengajar yang setiap hari mengajari yang tak pernah mereka dapati sebelumnya.
Pak Soleh mengubah sistem pembelajaran. Setiap akhir jam pelajaran, semua siswa diwajibakan menempelkan tulisan pada dinding karang di laut. Alhasil, setiap jam akhir pelajaran, semua siswa berduyun-duyun menuju pantai, membawa tulisan dan menempelkannya pada karang. Tak hanya para siswa, namun juga para nelayan. Mereka belajar menulis lalu menempelkannya pada karang. Warga pantai pun tak mau ketinggalan. Semua orang menulis lalu menempelkannya pada karang dengan beragam kertas warna. Hingga karang menjadi berwarna-warni seperti kerlip bola Kristal jika dilihat dari kejauahan.
Seribu tulisan menempel pada dinding tiap harinya. Terus bertambah, hingga ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu.
YK, 12-12-2012, sewaktu banjir lahar dingin
 http://oase.kompas.com/read/2011/12/22/08584976/Karang.Seribu.Tulisan

"Wajah" Ibu di Era Teknologi Maju

Oleh Illa Kartila
Tugas utama kaum ibu tidak semata-mata melahirkan bayi, merawat, mengasuh dan membesarkan anak sambil menjadi istri yang mengabdi pada suami dengan motto: swarga nunut, neraka katut, perlahan tapi pasti mulai berubah seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi.


Memang benar ibu-ibu masih mengasuh dan membesarkan anak-anaknya, tetapi banyak di antara mereka juga ingin lebih mengembangkan diri, bakat, minat dan hobi yang tidak hanya sekedar untuk mengisi waktu, tetapi juga menambah ilmu dan penghasilan keluarga.

Simak cerita Dini Shanti, salah seorang ibu rumah tangga -mantan karyawati- yang kemudian berhasil membangun usaha yang menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membiayai masa depan kedua anaknya, dengan memanfaatkan teknologi maju.

"Dulu, saya musti berpanas-panasan naik angkot ke kantor. Dulu, saya pernah kehilangan hampir segalanya, sampai kasur pun tidak punya. Dulu, saya sampai punya hutang sana sini demi menyediakan makanan di meja," katanya mengenang masa lalunya.
"Sekarang saya bisa tersenyum simpul mengenang sisi keras kehidupan saya di masa lampau. Itu berkat kemajuan teknologi. Jika dulu saya pakai internet hanya untuk main game saja, sekarang, internet menjadi sumber penghasilan saya," ujar Dini.

Tahun 1998 ketika dia mulai merintis ’karir’ di internet, dia mengaku tidak memiliki guru yang bisa mengajari dan membimbingnya. "Saya musti mempelajari semuanya seorang diri, ditemani om Yahoo dan om Google tentunya. Tidak sedikit waktu dan tenaga yang saya habiskan untuk belajar, hingga saya mencapai posisi seperti sekarang."

Tak kalah serunya kisah yang dituturkan Lizsa Anggraeny. Ibu rumah tangga adalah profesi yang digelutinya sejak berhenti kerja dari sebuah perusahaan. "Saya menyebutnya profesi karena pekerjaan rumah tangga membutuhkan profesionalisme berupa keahlian, pengetahuan dan keterampilan sama dengan pekerjaan kantor lainnya," katanya.

Jika di perusahaan dia hanya kebagian tugas mengurusi satu bagian yaitu general affair saja, ternyata di rumah tugasnya banyak karena dia wajib berperan multifumgsi sebagai direktur, manajer, sekretaris sekaligus pekerja, yang tidak hanya bisa memahami, tapi juga harus mampu menguasai semua bidang.
Jadilah rumah tangga dia ibaratkan sebuah kantor, untuk rencana harian misalnya dalam buku agenda dia menulis: Membuat purchase order, meeting supplier, incoming inspection dan lainnya. Agenda ini sesungguhnya jadwal harian rumah tangga.

"Saya ibaratkan belanja kebutuhan sehari-hari dengan purchase order; acara pergi ke pasar, supermarket, ataupun toserba saya istilahkan dengan meeting supplier; sedangkan incoming inspection adalah istilah untuk rapi-rapi rumah. Semua saya lakukan dengan tujuan agar lebih semangat dalam menjalani pekerjaan rumah tangga," ujarnya.

Bukannya tanpa kendala, katanya, karena pertama kali berhenti bekerja dan menjalani pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, ada perasaan tidak betah dan malu untuk mengakui. Selama ini dalam benaknya telah terpatri pikiran bahwa menjadi wanita karir lebih baik dibandingkan ibu rumah tangga.
"Ternyata, setelah benar-benar terjun fulltime menjalani pekerjaan rumah tangga, pikiran saya berubah total. Pekerjaan yang semula saya anggap remeh ini ternyata tidak sesederhana seperti dalam bayangan saat menjalaninya," tutur Lizsa.

Ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak hanya membutuhkan `perangkat kasar’ berupa tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya untuk mencuci, menyetrika, bebenah rumah, tetapi juga `perangkat lunak’ - kelihaian otak guna mengatur keuangan, mengolah makanan, meredam emosi.
Juga beberapa perangkat lunak lainnya yang berhubungan dengan naluri keibuan berupa kelembutan, kesabaran untuk mengayomi rumah tangga. "Terkadang ibu rumah tangga pun harus siap menjadi pengawal (bodyguard) yang dapat mendeteksi keadaan rumah tangga agar selalu adem, ayem dan tentrem."

Tidak menghambat potensi
Belum lagi waktu kerja yang menurut Lizsa mengharuskan seorang ibu siap sedia selama 24 jam. Ini memerlukan ketahanan jiwa dan fisik yang kuat.
"Jika dalam perusahaan saya bisa mengambil cuti, tidak begitu dalam rumah tangga. Sebagai ibu rumah tangga saya tidak bisa begitu saja ngambil cuti, mengundurkan diri atau meminta pensiun dini karena cape ataupun tidak cocok dengan pekerjaan. Di sinilah karir saya ditempa. Saya adalah fasilator bagi berjalannya managemen rumah tangga," kata Lizsa.

Dia juga mengakui, menjadi ibu rumah tangga ternyata tidak menghambat potensinya. "Justru saya jadi memiliki waktu lebih fleksible dalam mengembangkan potensi untuk meraih prestasi. Di antaranya saya lulus Nihongo Nouryoku Shiken (tes kemampuan Bahasa Jepang) level satu setelah berusaha keras belajar di antara waktu luang yang ada."

Dia juga dapat mengembangkan hobi menulis. Siapa sangka setelah menjadi ibu rumah tangga, dia justru dipercaya menjadi ketua di salah satu forum kepenulisan.
Profesi ibu rumah tangga baginya tidak bisa digantikan oleh siapapun selain diri mereka sendiri. "Tidak salah jika kini, saya begitu bangga dengan profesi ini. Bila ada yang bertanya apa pekerjaan anda? Tanpa ragu lagi akan keluar jawaban, Saya
adalah ibu rumah tangga."

Sementara itu teknologi informasi dan telekomunikasi tak dipungkiri lagi sangat berperan dalam pemberdayaan wanita/ibu misalnya dalam pemanfaatan internet untuk sesuatu yang positif - mengembangkan usaha atau bisnis sesuai dengan minat dan hobi sesuai kapasitas dan kemampuannya yang bisa dilakukan dari rumah.

Ibu-ibu jangan hanya dicap sebagai kaum konsumtif dan hanya memanfaatkan teknologi terbaru untuk kepentingan gaya hidup. Memburu handphone atau gadget terbaru agar tidak dianggap ketinggalan zaman, sebatas mengupdate status sosial media seperti Fecebook atau nge-tweet agar tetap dianggap eksis.
Gunakan untuk sesuatu yang produktif, jadilah produsen. Jika punya hobi menulis, ibu-ibu dapat memanfaatkannya dengan membuat blog atau langsung menulis di blog media. Semuanya mudah dan gratis tidak perlu memikirkan pembayaran ’hosting’ dan ’bandwith’.

Menulis juga bisa apa saja, mulai dari resep memasak, cerita ringan sampai pengalaman saat berkunjung ke suatu tempat. Akses untuk terjun ke dunia maya ini semakin mudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Lihat saja, pengguna internet di Indonesia terus meningkat dengan cepat dari tahun ke tahun.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlahnya sudah mencapai 45 juta, padahal pada tahun 1999, jumlah pengguna internet di Tanah Air baru ada di angka satu juta orang.

Teknologi informasi dan telekomunikasi adalah jembatan untuk memberdayakan kaum wanita,  dari ibu-ibu tradisional yang hanya memasak, mengasuh anak dan melayani suami, menjadi wanita yang handal, cerdas, berpengetahuan luas dan bahkan memiliki penghasilan cukup banyak, tanpa harus meninggalkan anak-anak di rumah.
 

Sumber :
ANT
http://oase.kompas.com/read/2011/12/20/10100263/Wajah.Ibu.di.Era.Teknologi.Maju

Puisi-puisi Windoro Adi

KUTUMBUK KAU JADI KOPI BUAT MEMBANGUNKAN PAGIKU (Kepada Melanie Subono)

Kutumbuk kau jadi kopi,
Buat membangunkan pagiku.
Kuhirup aromamu,
Kupanggili impian-impian masa kecilku.

MATAHARI SUDAH TINGGI, TAPI KAMU MASIH SAJA DUDUK DI BAWAH POHON KOPI (Kepada Melanie Subono)

Matahari sudah tinggi, tapi kamu masih saja duduk di bawah pohon kopi.
Kamu bilang kamu ingin hidup seribu tahun lagi.
Kamu bilang, di bawah pohon kopi, waktu tak bergerak.

KATAMU SECANGKIR KOPI CUKUP BUAT MEMBILAS LUPA (Kepada Melanie Subono)

Katamu secangkir kopi cukup buat membilas lupa.
Kataku, biarlah lupa jadi alasan buatmu berlari Tapi demi pedih yang manis kamu tak mau lupa
APA JADINYA SEGELAS KOPI TANPA PERCAKAPAN PANJANG (Kepada Melanie Subono)
Apa jadinya segelas kopi tanpa percakapan panjang
Kamu berulang cuma mereguk
Lalu menatap permukaan air kopi yang seperti bibir terus berkomat-kamit sampai kamu lupa, sudah bertahun kamu duduk di kursi yang sama.

KAMU TAHU BUKAN TENTANG KOPI DAN BUKUMU? (Kepada Melanie Subono)

Kamu tahu bukan tentang kopi dan bukumu?
Seperti racun yang menggerakkan tanganmu menulis.
Di halaman terakhir kamu menulis,
Sesungguhnya aku cuma mau secangkir kopi, tapi kamu merasuk dalam darah dan tanganku memaksaku mengisi lembar demi lembar kertas kosong agar berkisah.
Katamu, "Aku benci kau!"
SERIBU TANGAN SYIWA MENYERGAP DAN MEMELUKMU (Kepada kawan Happy Salma)

Jiwa yang menari 'lah mengalahkan ruang dan waktu.
Maka Menarilah!
Bunyikan gemerincing gelang dan kakimu, sampai datang roh moyangmu
Menari dan berputarlah seperti para sufi yang menghentikan waktu dengan nyanyian
Jiwamu berlompatan dari tubuhmu yang menari
Seribu tangan Syiwa menyergap dan memelukmu
BINTANG YANG JATUH DI PIRINGMU (Kepada kawan Happy Salma)

Kau bilang kau lapar
Tapi saat kau baca puisiku, bintang itu jatuh di piringmu lalu berubah menjadi ikan kecil keemasan yang menggelepar.
Saat hendak kau pungut, ikan itu hilang bersama rasa laparmu

DOA PARA PEMABUK (Kepada Kawan Herry Petruk)

Tuhan, jika mau Mu
Jadikan aku pemabuk
Yang samar melihat bentuk
Jernih melihat cahaya
Apakah itu Engkau, Tuhan?

KAU INGIN IKUT AKU? (Kepada Kawan Herry Petruk)

Kau bilang ingin ikut Aku?
Nyalakan api di tungku
Biar Ku siapkan malam dengan setumpuk dongeng tentang sakit dan kematian orang-orang di Menara Babel
Tuang lalu tenggak minummu.
Tengadahlah ke langit dan lihatlah.
Tak akau kau jumpai sakit dan kematian di sana.
Sebab, Aku ada di sana, seperti sekarang
Aku menemani mabukmu.

Sumber: http://oase.kompas.com/read/2011/12/19/13180812/Puisi-puisi.Windoro.Adi

Sajak-sajak Mira Astra

DI PRAHA
Andai kupahami luruh rintik salju
yang berjabat di pucat jemariku
begitu asing, asin dan dingin
luruh putih itu menembang
mengajariku bercinta
di ranjang angin
yang katanya sanggup menidurkan
akar-akar anggur merah
di lereng bukit Svatováclavská vinice
hingga mengikat erat jiwaku
pada tonggak demi tonggak kayu
dimana nantinya aku tahir menua
dan bersulang pada kenangan negeriku
sembari menatap musim demi musim berlalu
senantiasa sama, hampa
di titik leburnya yang berbeda
perlahan luruh putih itu mulai berbicara
tentang titik beku yang kurindukan
menaungiku menyusuri kota tua Malá Strana
menjauhi angsa-angsa yang menari di kelam Vltava
hingga bilangan rintik berhenti,
mengangkat sekantung lagi serbuk putih
dan menuangkannya di hamparan angin
satu demi satu genting dan kubah
kastil-kastil gotik, teater, museum, gereja
sinagoga, stasiun, gedung-gedung opera
hingga rumah-rumah aneh itu
membisu sejenak
menitipkan segulung mimpi
kami terpekur di beranda loteng tua
hikmat merangkul benak
di balik jaket tebal
setengah botol sva?ák
menanti getir dingin lonceng
mengekalkan gema
di julang menara Malostranské Nám?stí
mungkinkah kupahami sedikit
risau anginmu yang meliuk
di warna-warni dedaun musim gugur
yang menyambutku
koper-koperku meringkuk
sebeku inikah awal kenangan hangat
yang kau tawarkan?
atau apa perlu,
aku meramu sendiri sebatang kayu manis,
anggur merah Moravia, biji pala, sesendok madu,
dan bunga kenari di bara kecil tungku
hingga di penghujung hayat
kucium wangi beku kota ini
di langkah sepi tangisan

Mira Astra
Praha, 2008

DUA SENDOK SERBUK KOPI DAN SESENDOK GULA
Pagi,
masih ku ingat bagaimana kau ajarkan aku
terjaga dari perca selimut yang membungkus rentang malam-malamku.
Dingin, buta berjalan menuju tungku
membakar senyap hingga jadi bara di titik beku.
Tanpa beralas kaki bisu ku sapa sumur di pekarangan belakang yang lengang
Seperti biasa sumur itu bertanya seberapa dalam
waktu yang dapat ku timba.
Hanya gigil dan rekah pipi
merah jambu yang dapat ku tawarkan sebagai jawaban yang kekal.

Di balik bilik, ku dengar kau igau takaran;
dua sendok serbuk kopi serta sesendok gula dalam gelas kopi kusam.
Air tertuang dan aku menunggu ketel mendenguskan nafasku buram
uap yang membakar sisi-sisi mimpi
mimpi yang tersobek dari perca selimut;
menyapa sumur di sujud sungkur di selaput fajar
mimpimu yang tercegat  terlampau bergegas ingin merangkum senja
terburu kau terbangun dengan warna terseduh
bukan dengan air yang terjerang di ketel,
bukan karena takaranmu namun hati mataharimu lah yang buat luka makin menganga

Bunga-bunga kopi menangis mengutuk pada pagi
meratapi serbuk-serbuk yang terlanjur kau cecap
sementara batang-batang tebu menaburkan manis jalang berpulang pada lautan.
dua sendok serbuk kopi dan sesendok gula, apakah yang tersisa di sana?

Mira Astra
Munduk, 13/11/11

GERHANAUntuk: Eric Eryanto

Jangan sekali kali kau meletakkan matahari, rembulan sejajar dengan bumi
karena aku baru saja terbangun
di subuh membaca mimpi yang belum jua usai ku tuai di ranjang ibu
aku ingin bangkit sebelum lolongan fajar dan terik rembulan mengepung
aku tak berdaya, lumpuh pada pagi
satu-satunya bayang yang ada adalah tonggak jembatan di ujung selatan desa
satu-satunya jembatan milik kita
dimana kita seberangkan kurir-kurir menuju pasar
riuh lalu lalang cengkerama buruh-buruh kasar
memecah kenangan yang katamu cuma sia-sia
Aku berlari ke pekarangan, namun tak seserpih benakmu pun memekar disana
tak seekor kupu-kupu dengan sayapnya yang rombeng menyapa
hampa adalah kelaparan yang mesti terbasmi
entah dengan apa ku ganjal
kegelapan tak membangunkan detakmu
ia tak jua menjelma jadi sepasang mata kekasih
Apakah kau berdiam jadi pasir hitam di dasar sungai itu
yang tak berhenti mengalir ke seberang desa
Apakah kau berdiri jadi pepohonan di montok lereng payudara bebukitan?
Aku terkepung dan terperangkap di gerhana
Dimana waktu jadi senyap, terhenti dan buta.
Mira Astra
Denpasar, 17 November  2011


BIODATA

MIRA ASTRA bernama lengkap Putu Mira Novianti. Untuk usuran tulis-menulis, selain Mira Astra ia kerap menggunakan nama Mira Antigone. Mira lahir di Denpasar, 25 April 1978. Setelah tamat dari SMAN 3 Denpasar, dia melanjutkan kuliah Filsafat di Charles University Prague/Praha, Republik Ceko, 2001-2004. Kemudian melanjutkan di Anglo-American University in Prague, bidang Humanity Studies.

Semasa SMA Mira meraih banyak preastasi di bidang sastra dan seni pertunjukan. Antara lain, dia pernah dinobatkan sebagai Aktris Terbaik I Pekan Seni Remaja (PSR) IX dalam pementasan "Bila Malam Bertambah Malam" karya Putu Wijaya; Pemain Wanita Terbaik I PSR XI dalam pementasan "GERR" karya Putu Wijaya, Juara I Lomba Operet Undiknas 1995 bersama TEATER TIGA, Pemain Wanita Terbaik Lomba Drama Modern (LDM) UNUD 1996 dalam pementasan "Bila Malam Bertambah Malam" karya Putu Wijaya, Juara II dan Juara Favorit Lomba Baca Puisi Sanggar Purbacaraka Faksas Unud 1997 dan Juara III Lomba Baca Puisi se-Indonesia Anugerah Bentara 2011

Mira pernah bergabung dalam Teater Wagiswari SMPN 10 Denpasar, Teater Tiga SMAN 3 Denpasar, dan Teater Agustus, Denpasar. Pernah pula mengurus majalah sekolah dan menjadi wartawan Wiyata Mandala semasa di SMA.

Karya-karya sastranya dipublikasikannya di Bali Post.  Sastrawan/penulis favoritnya, antara lain Milan Kundera, Paolo Coehlo, Thomas Mann, Naguib Mahfouz, Jane Sassons, Dan Brown.

(Puisi) Suryatati A Manan: Puisi untuk Berkomunikasi dengan Rakyat

Oleh: Yul Adriansyah/ATL Lisan
Sosok perempuan, seorang Pejabat Tinggi Negara, seorang ibu dari empat putra dan putri, Suryatati A Manan dengan kesibukannya sebagai Wali Kota Tanjung Pinang menjabat semenjak Tahun 2007 hingga kini, masih menyempatkan waktunya menghadiri dan membacakan karya puisinya yang juga termasuk dalam 22 perempuan Indonesia dalam buku "Antologi Puisi 22 Perempuan Indonesia - Hati Perempuan" diluncurkan pada Kamis malam, 22 Desember 2011 bertepatan dengan Hari Ibu di ruang Sonokeling, Gedung Manggala Wanabakti.

Sebagai orang nomor satu Kota Tanjung Pinang, menulis puisi bagi Suryatati juga merupakan alat komunikasi dengan rakyatnya. Entah itu dalam memperjuangkan hak mereka atau kaum perempuan. Bahkan puisi tentang bagaimana sulitnya ia menjalankan pemerintahan.

Mereka yang tergabung pada Antologi Puisi 22 Perempuan Indonesia yaitu Ana Mustamin, Aida Ismet, Anisa Afzal, Ariana Pegg, Dhenok Kristianti, Dyah Setyawati, Elis Tating Bardiah, Free Hearty, Heni Hendrayani Sudarsana, Linda Djalil, Martha Sinaga, Menur Haryati Adiwiyono, Nia Samsihono, Nona G Muchtar, Ratna Dewi Barrie, Rita Srihastuti, Sastri sunarti Sweeney, Soesi Sastro, Soedarnawati Yasni M, Susi Ayu, Suryatati A Manan dan Ully Sigar Rusady

Dalam buku yang diluncurkan malam itu bukanlah buku pertamanya, buku keempatnya itu masih berupa kumpulan puisi dan pantun dengan tema tentang keluarga.

Pejabat Wali Kota Tanjung Pinang ini berpantun atau menulis pantun bagi istri Ahmad Subroto (alm) ini bukanlah hal sulit, sebab pantun sudah menjadi santapan sehari-hari di Tanjungpinang. Mulai dari anak TK sudah bisa berpantun secara spontan ujar Suryatati. Namun, menulis puisi baginya adalah sesuatu yang baru.

Suryatati berkenalan dengan puisi semenjak Tahun 1993 sewaktu diberi hadiah ulang tahunnya ke-40 oleh putri pertamanya, Maya. Kemudian pada 4 November 2006. Saat itu ia diundang membaca dua buah puisi karya Tusiran Suseno dan Syarifuddin di Taman Ismail Marzuki.

Pengalaman menjadi seorang penyair baginya diceritakan ketika pada suatu waktu seorang wartawan bertanya kepada nya, "Sudah berapa puisi yang saya tulis, saya bilang belum ada" katanya. Pertanyaan wartawan tentang menulis puisi ternyata terus terngiang-ngiang di telinga ibu wali kota ini. Maka, pada suatu hari saat menjelang tidur, tambahnya, pada bulan November 2006 seingatnya, mulailah ia menulis puisi berdasarkan ungkapan perasaan-perasaan yang dialami semasa hidupnya.

Pada waktu itu, ia memang baru saja kehilangan suami tercinta, maka dimulailah merajut kata demi kata diucapkannya puisi yang dituangkan pada secarik kertas, ngakunya "Ada saya tersenyum, tertawa, mencibir, bahkan terkejut" pikirnya dipenuhi carut-marut khayalanya tersebut. Kadang ia tidak menyangka pada dirinya, "masih mudakah saya ini".

Puisi pertama yang ditulis Suryatati diberi judul Janda. Setelah menulis puisi Janda, Suryatati pun terus menulis hingga lahirlah buku kumpulan pantun dan puisinya yang pertama Melayukah Aku?. Tahun berikutnya, Oktober 2008, buku kumpulan puisinya kedua berjudul Perempuan Walikota terbit.

Menurut wali kota yang beberapa kali tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri) ini, ide menulis puisi muncul dari mana saja. Bisa dari koran, aktivitas sehari-hari di kantornya, atau realitas di masyarakat saat ia mengadakan kunjungan kerja. Kadang saat di jalan menuju pulang ke rumah muncul ide, langsung Suryatati tulis di secarik kertas terkadang belum ketemu judulnya, tetapi sudah tertuang maksud puisi nya. "Biasanya langsung saya tulis biar tidak lupa" tutur Suryatati. Bahkan ketika ia jengkel melihat ulah para stafnya di kantor Wali Kota pun ia tuangkan lewat puisi, baca pada puisinya ke-135 berjudul Stafku.

Suryatati yang hobinya menata tanaman adalah sosok seorang perempuan yang beranggapan bahwa, "sebagai perempuan sudah sepatutnya adalah yang mengerti peranan dan tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah sebagai ibu rumah tangga di rumahnya serta lingkungannya, oleh karena itu para ibu-ibu di Kota Tanjung Pinang selain tanggung jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga saya himbau selalu menjaga kebersihan, merawat, menanam pepohonan dilingkungan sekitarnya" itu sesuai pada puisi yang ditulisnya dibacakan pada peringatan 17 Agustus Tahun lalu. Saat itu, ia melihat para istri pejabat di pemerintahan kota bukannya ikut upacara, melainkan malah pelesir ke luar negeri.

"Masyarakat juga perlu tahu kesulitan kita menjalankan pemerintahan" tambahnya. Puisi-puisi Suryatati terus mengalir mengandung sindiran itu tertuang pada puisi berjudul PLN. "Saya pernah membacakan puisi ini di suatu acara, dan ada orang PLN, tetapi mereka tidak marah. Cuma senyum-senyum. Puisi juga saya jadikan alat untuk menyampaikan aspirasi rakyat atau memperjuangkan hak-hak mereka" ujar Suryatati lagi.

Karya puisi seorang perempuan pejabat Wali Kota jelas bisa kita rasakan. isi maknanya bersentuhan dengan hidup kesehari-harian nya. Suryatati menulis puisi berdasarkan realitas, itu yang membuat ia menjadi seorang penyair bahkan budayawan, dosen filsafat Tommy F Awuy menyimpulkan setelah dia membaca puisi-puisi Suryatati mengekspresikan kejujuran yang sangat personal. Suryatati bahkan tidak latah bermanis-manis kata dalam mengukir realitas hidup yang dihadapinya, justru sebagai Pejabat Tinggi Negara ia berani melayangkan wajah sosial masyarakat yang carut-marut pada pemerintahannya. Bahwa mengomentari buku kumpulan puisi Perempuan Walikota, puisi-puisi Suryatati sebagai bentuk komunikasi pejabat daerah dengan masyarakatnya. Ini suatu pendekatan kultural yang seyogianya terus dikembangkan oleh mereka yang memegang amanah rakyat.

Sementara itu, penyair sekaligus periset puisi Medy Loekito melihat Suryatati dalam menulis puisi mengambil masalahmasalah di luar dirinya sendiri. Dari seluruh puisi dan pantun yang ada dalam Perempuan dalam Makna, hanya satu puisi yang bermuara pada dirinya sendiri. Selebihnya, ia menyuarakan ketidaknyamanan atau keganjilan yang ada di sekelilingnya dengan menggunakan cara penyampaian sederhana, lembut, jelas, komunikatif, namun berani. Hal itu bisa dilihat dalam Gali Lubang Tutup Lubang, dan PLN.

Kini, pembacaan puisi atau pantun sepertinya menjadi tradisi tiap kali ada kegiatan di pemerintahan Kota Tanjungpinang. Tiap kali ada sambutan-sambutan, pasti ditutup dengan pembacaan puisi. Ibu Wali Kota sendiri tiap kali melakukan kunjungan kerja selalu berpantun atau membaca puisi, "Masyarakat Tanjung Pinang mencintai sastra. Sebab banyak orang berpikir dunia sastra kurang ada ekonominya. Padahal kalau dikemas bisa menghasilkan uang". Ia bahkan telah memindahkan kota pemerintahan dari Jalan Haji Agus Salim ke kawasan Senggarong pada 2002, sehingga daerah itu mulai muncul geliat ekonominya.

Dulu, karena sepinya, kalau kita berjalan di wilayah itu selama 1 jam paling berpapasan dengan satu orang. Kini sudah ramai. Nanti kantor- kantor lain juga akan pindah, ujarnya.

http://oase.kompas.com/read/2011/12/23/13135929/Suryatati.A.Manan.Puisi.untuk.Berkomunikasi.dengan.Rakyat

Misteri Si Cantik, Benarkah Dia Ratu Nefertiti?

Oleh Ilyani Sudardjat
Mumi kok cantik. Padahal sebenarnya mumi itu serem, bukan? Tetapi cara arkeolog melihat memang bisa beda dengan awam. Seperti ketika beberapa tahun yang lalu (2003), seorang arkeolog, Fletcher menemukan mumi di Mesir, dia bisa memperkirakan dari raut mukanya yang cantik bahwa mumi tersebut ‘mungkin’ adalah Ratu Nefertiti.

Hal ini berdasarkan kajian terhadap umur mumi, kemudian, aksesoris yang dikenakan, dan usia sang Ratu ketika wafat. Dari kajian umur mumi, diperkirakan bahwa mumi tersebut berumur hampir 4000 tahun yang lalu, kemudian aksesoris yang dikenakan menunjukkan bahwa sang mumi adalah perempuan dan seorang bangsawan.

Tetapi untuk benar-benar mengetahui apakah itu Ratu Nefertiti atau bukan, tentu perlu dilakukan tes DNA. Memang, penelitian masih terus dilakukan untuk memastikan apakah mumi tersebut Ratu Nefertiti atau bukan.

Sebenarnya Nefertiti terkenal bukan dari muminya, tetapi dari patung yang diketemukan oleh seorang arkeolog, Ludwig Borchardt pada tahun 1912 di Mesir. Patung ini diperkirakan berusia 4000 tahun.

Kemudian, patung Ratu Nefertiti ini pertama kali dipertontonkan ke publik pada tahun 1923 di Jerman. Sampai sekarang patung ini, yang merupakan warisan Mesir, masih disimpan di Jerman.

Padahal sudah diminta minta oleh Pemerintah Mesir, tetapi belum dikasih juga oleh museum Jerman (sumber: wikipedia)

Mengenai Ratu Nefertiti sendiri, dia adalah Ratu yang diperkirakan hidup pada tahun 1370 SM - 1330 SM. Nefertiti artinya ‘kecantikan telah datang’. Memang, Ratu ini terkenal sangat cantik, dengan lehernya yang panjang. Lihat juga kelopak matanya, bahkan sampai sekarang banyak perempuan modern pun rela operasi untuk memiliki kelopak mata seperti itu.

Nefertiti merupakan permaisuri kesayangan Pharaoh Akhenaten (Firaun Amenhotep IV). Pasangan Raja dan Ratu ini terkenal karena membawa revolusi kepercayaan di Mesir, dari politheist ke monotheist. Dari banyak dewa dewa ke hanya satu dewa saja, yaitu Dewa Matahari, Aten.

Dan yang sangat berperan dalam kepercayaan ini adalah Sang Ratu. Selain sebagai pengatur kerajaan, sang Ratu juga berperan sebagai Pendeta Tertinggi kerajaan. Saking besarnya kekuasaan Sang Ratu ketika itu, gambar gambarnya mendominasi dinding dinding kerajaan dengan ukuran yang sama besarnya dengan ukuran Sang Raja (zaman itu jika permaisuri raja/perempuan gambarnya pasti lebih kecil dari rajanya sendiri) (sumber: ensiklopedia mesir).

Tetapi sayang, Nefertiti meninggal pada usia muda (diperkirakan 30 - 35 tahun). Ada yang bilang karena dia terkena kutukan, akibat revolusi kepercayaan tersebut, sehingga menyebabkan dewa dewa yang lain ‘marah’.

Tetapi yang jelas, catatan sejarah sang Ratu hilang begitu saja. Bahkan ketika digantikan oleh putranya Tuthankemen, anaknya inipun meninggal pada usia muda.

Tetapi, tentu saja Sang Ratu tetap diingat sepanjang masa, bukan saja karena kecantikannya, tetapi karena revolusi kepercayaan yang dibuatnya bagi peradaban masa itu.
 
Sumber :
http://oase.kompas.com/read/2011/12/21/13241128/Misteri.Si.Cantik.Benarkah.Dia.Ratu.Nefertiti

10 Trik agar Belajar Anda Efektif

KOMPAS.com - Mungkin ada yang memercayai bahwa kesuksesan dalam belajar datang dengan sendirinya. Tak salah memang, ketika ada yang meraih kesuksesan dalam studinya, padahal ia terlihat tidak melakukan usaha yang sangat keras. Akan tetapi, kebanyakan pelajar justru meraih kesuksesan dengan mengembangkan dan mengaplikasikan kebiasaan belajar yang efektif? Nah, 10 trik berikut ini mungkin bisa jadi panduan bagi Anda yang tengah mencari cara terbaik dalam belajar.

1. Jangan mencoba untuk memaksakan belajar dalam satu sesi

Biasanya, para pelajar yang sukses selalu meluangkan waktu belajarnya lebih pendek dan jarang memaksakan mempelajari seluruhnya dalam satu atau dua sesi. Kuncinya, belajarlah dengan konsisten dan lakukan secara reguler meskipun dalam waktu singkat.

2. Rencanakan saat Anda akan belajar

Jika ingin sukses dalam belajar, susunlah jadwal dengan waktu yang spesifik selama sepekan. Dan cobalah untuk tegas dengan jadwal yang telah Anda buat. Mereka yang belajar secara sporadis, biasanya tidak berperforma sebaik pelajar yang telah mengatur waktu belajarnya dengan disiplin.

3. Belajarlah pada waktu yang sama


Tidak hanya apakah penting untuk merencanakan jadwal kapan harus belajar, tetapi, Anda juga belajar untuk konsisten dengan rutinitas belajar harian. Ketika Anda belajar pada waktu yang sama setiap hari dan setiap minggu, maka hal itu akan menjadi bagian yang rutin dalam kehidupan Anda. Secara mental dan emosional, Anda akan lebih mempersiapkan diri saat sesi belajar tiba dan tentunya lebih produktif.

4. Setiap kegiatan belajar harus memiliki tujuan yang spesifik


Menganggap sederhana belajar tanpa arahan yang jelas tidak akan efektif. Anda perlu tahu dengan jelas apa yang Anda butuhkan dalam setiap kesempatan belajar. Sebelum mulai belajar, aturlah tujuan dari belajar yang Anda lakukan. Hal ini akan mendukung tujuan akademik secara keseluruhan.

5. Jangan pernah menunda belajar

Adalah hal yang sangat mudah umum untuk membatalkan sesi belajar yang telah Anda rencanakan karena tidak tertarik dengan bidang studi, atau Anda memiliki hal lain yang harus dilakukan, atau karena tugas yang diberikan sangat sulit untuk dikerjakan.

Pelajar yang berhasil tidak pernah menunda waktunya untuk belajar. Jika Anda melakukannya, kegiatan belajar Anda menjadi tidak efektif dan Anda tidak akan mendapatkan apa yang dibutuhkan. Penundaan juga akan menimbulkan kekacauan dan menjadi penyebab nomor satu dari kegagalan.

6. Mulailah dengan pelajaran yang paling sulit

Tugas atau pelajaran yang paling sulit akan membutuhkan usaha, mental, dan energi yang paling besar. Anda sebaiknya memulai dengan hal ini. Sekali Anda bisa menyelesaikan tugas yang paling berat ini, akan lebih mudah untuk menyelesaikan sisanya. Percaya atau tidak, memulai dengan pekerjaan yang paling sulit akan membawa peningkatan yang sangat besar bagi keefektifan sesi belajar dan performa akademis Anda.

7. Selalu review catatan Anda sebelum mulai mengerjakan tugas

Hal yang pasti, sebelum Anda dapat mereview catatan yang dimiliki, maka Anda harus memiliki catatan tersebut. Pastikan bahwa Anda selalu membuat catatan yang baik selama di kelas. Sebelum memulai setiap sesi belajar dan mengerjakan tugas utama yang harus diselesaikan, pastikan Anda tahu bagaimana mengerjakannya dengan benar.

8. Pastikan tidak ada gangguan selama belajar

Carilah tempat belajar yang aman dari gangguan. Ketika Anda terganggu saat belajar maka itu akan membuyarkan konsentrasi dan kegiatan belajar menjadi tidak efektif.

9. Manfaatkan kelompok belajar dengan efektif


Pernah mendengar pepatah, "Dua kepala lebih baik daripada satu kepala?". Pepatah ini bisa jadi benar untuk diterapkan dalam kegiatan belajar. Belajar secara kelompok akan membawa sejumlah keuntungan, diantaranya, mendapatkan bantuan dari pelajar lainnya saat Anda berjuang untuk memahami sebuah konsep, menyelesaikan tugas dengan lebih cepat, dan berbagi pengetahuan dengan pelajar lain yang akan membantu mereka dan diri Anda sendiri untuk menginternalisasi persoalan. Tetapi, kelompok belajar akan menjadi tidak efektif ketika tidak terstruktur dan anggota grup minim persiapan.

10. Review catatan, tugas, dan materi lainnya setiap akhir pekan

Pelajar yang sukses biasanya selalu mereview apa yang telah mereka pelajari selama seminggu di setiap akhir pekan. Cara ini akan membuat mereka mempersiapkan diri lebih baik untuk melanjutkan pembelajaran konsep-konsep baru pada pekan berikutnya.

Yakinlah, saat menerapkan trik-trik ini dalam belajar akan membawa perubahan dan peningkatan yang signifikan dalam catatan akademis dan keberhasilan studi Anda. Kuncinya, jangan putus asa!

Sumber :
Education Corner
http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/13/11110985/10.Trik.agar.Belajar.Anda.Efektif

Rabu, 21 Desember 2011

CINTA YANG MENYAPA

Karya: RIA SEPTIANI
MAN TULUNGAGUNG 1/XII AKSEL(1)


Mentari mulai menyapa pagiku. Membangunkan tidurku yang nyenyak. Cahaya matahari yang cerah, namun tak secerah hatiku hari ini. Ku bangun dari tempat tidurku, melangkah menuju kamar mandi tuk cuci muka. Ku basuh pelan muka ini, dengan sabun halus yang mengusap wajahku. Ku menghadap kaca yang ada di depanku. Ku teringat dengan kejadian kemarin sore. Pelan-pelan air mata ini menetes di pipiku. Ku tersadar mungkin ini yang terbaik untukku.
            Aku menangis. Terbayang wajahmu yang slalu mendamaikan hidupku. Kekasih, hati ini belum bisa menerima untuk kehilanganmu. Hatiku hancur banget kala hati ini teringat dengan semua janji-janjimu. Tuhan, bantulah aku tuk melepaskan cinta yang terpendam dalam hati ini, kataku dalam hati. Aku sangat mencintainya. Belum pernah aku merasakan getaran cinta yang begitu dahsyat dalam hatiku. Baru kali ini aku merasakannya. Padahal, udah berulang kali aku bergandengan dengan cowok lain.
            Kupandangi muka yang musam ini di kaca yang tak pernah jenuh mendengarkan jeritan hatiku. Terasa sulit banget tuk melepaskan bayangannya. Kenapa dulu aku menyia-nyiakanmu?? Terasa menyesal banget aku melakukan kesalahan yang besar.
            Kumelangkahkan kaki menuju sekolahku dengan hati yang tak secerah mentari hari ini. Tak berapa lama kemudian akhirnya aku sampai didepan gerbang sekolah. Sebelum masuk ke area sekolah, tanpa sengaja mataku memandang kearah parkir sebelah timur. Kupandangi sesesok cowok tampan yang tak lain adalah Fandy. Dialah cowok yang selama ini telah aku sia-siakan cintanya.
            “Fandy. “ kataku dalam hati dan berharap dia akan menyapaku. Aku berjalan menuju ke kelasku yang ada di depan parkir itu. Aku harus melewat didepan Fandy. Aku menunduk nggak berani menatap Fandy karena rasa salahku ke dia. Aku teringat dengan kejadianku kemarin lusa di suatu tempat. Saat itulah aku dan Fandy memutuskan untuk berteman saja. Dialah yang memutuskanku. Aku merasa bersalah ke dia, dan malu rasanya teringat kejadian yang menyebabkan hubunganku ma dia berakhir.
            “Ini semua gara-gara Randy.” Kataku dalam hati kala inget dengan kejadian itu. Gara-gara dialah yang membuat aku putus dengan seseorang yang sangat aku sayangi. Ceritanya demikian.
*****
Saat itu adalah hari Minggu. Aku dijemput oleh Randy dirumahku. Dia memintaku untuk menemaninya di Studio musiknya. Sebagai temannya akupun menuruti ke mauannya. Akhirnya aku masuk ke mobilnya. Diapun melajukan mobilnya dengan kencang. Udah sekitar 15 menit kami belum sampai juga di studio itu.
            “Kita mau kemana sih? Katamu studiomu dekat dengan sini?” kataku pada dia.
            “Kita jalan-jalan aja ya. Aku bosen nih. Kamu mau kan nemenin aku ke tempat yang special?”
(aku terkejut mendengar kata-katanya.) “Tapi Ran. Ntar…” (Randy memotong kata-kataku.
            “Fandy. Cowokmu itu Udahlah Tan. Nggak usah mikirin dia. Dia nggakkan marah kok.” (aku diam nggak bisa ngomong apa-apa lagi.) “Lagian dulu kita juga udah pernah pacaran kan Tan? Masak semudah itu kamu nglupain aku?” kata Randy sambil megang tanganku. (shok abis.) rasa ini seperti tumbuh lagi. aku nggak tahu harus ngomong apa. Aku benar-benar bahagia kala inget masa-masa indah saat bersamanya. Aku lupa dengan pacarku. Ku nikmati saat jalan bareng dengan Randy. Kamu bercanda tawa. Hingga hpku bunyi. Ternyata Fandy menelfonku.
            “Siapa sayang?” Tanya Randy. Aku hanya menggelengkan kepala. Pasti Randy sudah mengerti dengan maksudku. Aku mengangkat telfon itu.
Fandy: “Kamu dimana?” (dengan nada yang agak marah. Aku terkejut mendengarnya.)
Aku; “mmm. Aku. Sayang, kamu marah ya?”
Fandy: “jawab dulu. Dimana kamu sekarang?”(Fandy semakin menjadi-jadi. Suaranya bagaikan singa yang kehausan darah. Baru kali ini aku mendengar suara Fandy yang marah.).
Aku: “Aku sekarang di taman sayang.(aku berusaha menenangkan Fandy yang marah-marah.) kamu jangan marah gitu donk. Kamu kenapa?”
Fandy: “ooh. Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang kalau kamu masih jadi cewek player. Iya? Bener?” fandy berkata dengan nada suara yang semakin meninggi. Rasa takutku semakin menjadi.
Aku: “Kamu ngomong apa sih?”
Fandy: “Aku dibelakangmu.” Seketika aku langsung menoleh ke belakang. Ternyata benar. Dia ada di depanku. Darahku seakan-akan berhenti mengalir. Bibirku tak bisa aku buka. Seluruh tubuhku seakan membatu. Aku pusing. Aku bingung dengan semua ini. Tiba-tiba muncul difikiranku untuk memegang tangan Fandy dan berkata “Maafkan aku.”. tapi tak semudah itu. Sebelum aku berkata sepatah kata, dia mendahuluiku. “Aku pengen kita putus.” Katanya. Jantungku seperti berhenti. Aku semakin membisu. Bibir ini seakan diformalin. Tak bisa gerak. Kaku banget. Aku benci dengan keadaan ini. Sebelum aku ngomong sekatapun, dia melangkahkan kaki pergi meninggalkanku sendiri. Aku tak bisa ngomong apa-apa. Baru kali ini aku diputuskan oleh seorang cowok. Baru kali ini pula aku merasakan cinta. Padahal bila dihitung-hitung, udah sekitar tiga puluhan kali aku pacaran. Bahkan itu lebih. Karena dulu waktu SMP, nggak pernah aku jomblo. Bahkan aku pacaran nggak hanya dengan satu orang cowok. Selalu tiga lebih. Baru kali ini aku pacaran dengan seorang cowok. Aku menolehkan pandanganku ke belakang, berharap aku mendapatkan dukungan dan hiburan dari Randy. Walaupun sebenarnya aku sudah tidak mencintainya lagi.
            Tapi ternyata Randy sedang berduaan dengan seorang cewek. Kurang ajar. Kataku dalam hati. “hari yang sangat sial.” Aku melangkahkan kaki untuk meninggalkannya.
***** kembali*****
Fandy tak memandangku sama sekali. Dia benar-benar benci aku. Aku takut kehilangan dia. Tapi apa dayaku, aku tak mungkin ngomong ke Fandy kalau aku sayang dia. Aku melangkahkan kaki menuju kelasku. Ku ikuti semua pelajaran hari ini tanpa semangat dalam diriku. Aku kehilangan setengah dari hidupku.
         Bel pulangpun berbunyi. Aku bergegas pulang. Sambil memasukkan buku ke tas, tiba-tiba sepucuk surat jatuh dari dalam lokerku. Kubaca surat yang bersampul pink itu. Dan kubaca isinya.
Bidadariku,
Kutunggu kamu di taman belakang sekolah sepulang jam pelajaran.
Aku berharap kamu mau menemuiku.

Pangeran semut
Aku bahagia banget menerima surat itu. Dengan cepat aku berlari menuju taman belakang sekolahku. Tapi apa? Sesampainya disana aku tak melihat seorangpun. Sepi sepi dan sepi. Aku duduk di sebuah kursi panjang tempat biasa aku duduk dengan seseorang yang sangat kusayangi. Udah sekitar 15 menit aku menunggu pangeran semut. Dia nggak datang-datang juga. Aku kesal. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan tempat ini. Sebelum melangkah, aku dikejutkan dengan kehadiran seorang dengan membawa kue. Bersamaan dengan itu, ternyata banyak temanku yang berdiri dibelakangnya. Mereka menyanyikan lagu ‘selamat ulang tahun padaku.’ Aku terharu banget. Tak terasa air mataku menetes dipipiku. Pangeran semutpun menyanyikan lagu itu sambil membawakanku kue yang berukuran besar. Kue itu bertuliskan “HAPPY BIRTHDAY TO MY LOVE.” Disampingnya tertuliskan “1 TAHUN KITA” yach. Hari ini aku ulang tahun. Tepat tanggal 09 september 2011. Sekaligus setahunku menjalin hubungan dengan Fandy. Kasihku tersayang. Hidupku, dan semangatku.
            “Selamat ulang tahun ya SAYANG. Aku mencintaimu. Maafkan aku yang udah 2 hari ini membuatmu menangis. Aku cinta kamu. Dan hari ini pula, kita genap 1 tahun. Moga kamu bahagia.” Itulah kata yang tak aku duga. Kekasih yang sangat aku sayangi kembali dalam pelukanku. Akhirnya aku kembali dalam dekapan kasih sayangnya.
LOVE YOU FANDY, PANGERAN SEMUTKU.

Senin, 19 Desember 2011

Perempuan Tangguh itu Seorang Pedagang

Yuan Puspasari
XI IPS 2 MAN Tulungagung 1



Mbah Kartini itulah nama panggilannya, seorang nenek tua renta pedagang sayur di dusun Patoman, Gondang. Kehidupan yang beliau jalani begitu sangat berat. Dalam modernisasi seperti sekarang ini membuatnya harus menjalani pekerjaan seberat ini yang seharusnya dia menikmati masa tuanya dengan nyaman tidak seperti sekarang ini. Semua yang ia lakukan demi sesuap nasi, pantang baginya untuk meminta-minta pada orang disekitarnya. Setiap kali beliau berjualan caci-maki dari orang-orang yang berlalu di depannya, entah mengapa mereka memperlakukan nenek tua itu. Walaupun Mbah Kartini diperlakukan seperti itu tetap saja beliau menerimanya dengan ikhlas tanpa dendam. Tetap saja beliau baik pada siapapun yang membutuhkan pertolongan beliau sendiri juga membutuhkan uluran tangan orang lain.
Pulang dari berjualan dia menempuh jarak pulang yang cukup lama sekitar kurang lebih 2km, inilah sebuah perjuangan yang tidak mudah untuk dilakukan tetapi untuk Mbah Kartini seperti tidak ada beban sedikitpun. Dengan tertatih-tatih dengan membawa rinjing seolah langkahnya tidak pernah putus. Penjualan yang ia perolehpun tidak mencukupi untuk kebutuhannya makan pun ia jarang sekali, keuntungan yang ia dapat selama ini hanya sekitar Rp.100,- bagaimana bisa makan kalau dengan uang tak seberapa. Mungkin dia harus menahan beberapa hari untuk mendapatkan uang lebih barulah dapat makan.
Sungguh malang nasib Mbah Kartini dia begitu sangat menderita, hidup sebatang kara suaminya sudah meninggal diapun tidak mempunyai anak memang dulunya ia mengasuh seorang anak tetapi saat umur 5th meninggal dunia karena tertabrak mobil saat dia melintasi jalan. Inilah sebuah kehidupan tidak boleh kita sesali. Kenyataan memang sungguh pahit tapi bagaimanakah kita dapat menghadapinya.
Yang membuat beliau menahan rasa pahit dan memilukan seringkali tempat penjualannya dibobol maling sungguh tega sekali orang yang berbuat kejam padanya. Terkadang caci maki yang ia dapat sekarang ada orang yang membuatnya merugi. Bagaimana dia mau makan jika harus menelan kepahitan seperti ini terus-menerus. Dimanakah kepedulianku wahai saudara-saudaraku?? Masa tuanya yang seharusnya dapat dinikmatinya kini kenyataan yang harus ia terima membuat beliau tidak dapat menikmati semua itu. Walaupun penjualannya pas-pas-an tetap saja tidak pernah mengurungkan niatnya untuk menyambung hidup dan terus berjuang untuk bertahan. Beliau berkata,”Saya tidak ingin menyusahkan orang-orang disekitar saya.”
Sungguh sangat memilukan tidak kuasa melihatnya. Bagaimana perjuangan beliau, dengan tertatih-tatih pukul 05.00 pagi sudah berangkat menuju tempat dimana ia berjualan dengan jarak yang lumayan jauh tidak membuat beliau putus asa. Dengan penyakit tuanya dan gondok yang bersarang dilehernya tidak akan mematahkan semangatnya sedikitpun.
Ya Allah mengapa masih ada orang-orang seperti dia di bumi pertiwi ini?? Indonesia dikatakan sudah merdeka tapi mengapa masih ada segelintir orang yang hidupnya kekurangan. Berbanding terbalik dengan kita yang hidupnya serba berkecukupan, tetapi mengapa kita tidak pernah menyadarinya masih sering kali kita mengeluh bahwa masih kurang inilah-itulah cobalah kita tengok orang-orang dilluar sana yang banyak mengalami kekurangan.
Sadarilah kalian atas apa yang diberikan Allah pada kita bahwa itu semua nikmat yang sungguh patut kita syukuri. Dengan keadaan yang serba berkecukupan tidak seharusnya kita merasakan kekurangan. Allah sudah cukup adil pada diri kita dengan rezeki yang ada harusnya tetap menerimanya dengan ikhlas, syukurillah dengan mengucapkan Allhamdulillah… 

Ingin Menulis?

Bagi siswa-siswi MANTASA GREEN yang ingin menuangkan karya tulisnya, baik cerpen, tulisan ilmiah, dan coretan hati, bisa juga kritik dan saran bisa dikirim ke email: mantasagreen@gmail.com.

Komentar Perasaan