Kata Pesan

SELAMAT DATANG DI DUNIA CERPEN KARYA SISWA MAN TULUNGAGUNG 1

Selasa, 27 Desember 2011

Sajak-sajak Mira Astra

DI PRAHA
Andai kupahami luruh rintik salju
yang berjabat di pucat jemariku
begitu asing, asin dan dingin
luruh putih itu menembang
mengajariku bercinta
di ranjang angin
yang katanya sanggup menidurkan
akar-akar anggur merah
di lereng bukit Svatováclavská vinice
hingga mengikat erat jiwaku
pada tonggak demi tonggak kayu
dimana nantinya aku tahir menua
dan bersulang pada kenangan negeriku
sembari menatap musim demi musim berlalu
senantiasa sama, hampa
di titik leburnya yang berbeda
perlahan luruh putih itu mulai berbicara
tentang titik beku yang kurindukan
menaungiku menyusuri kota tua Malá Strana
menjauhi angsa-angsa yang menari di kelam Vltava
hingga bilangan rintik berhenti,
mengangkat sekantung lagi serbuk putih
dan menuangkannya di hamparan angin
satu demi satu genting dan kubah
kastil-kastil gotik, teater, museum, gereja
sinagoga, stasiun, gedung-gedung opera
hingga rumah-rumah aneh itu
membisu sejenak
menitipkan segulung mimpi
kami terpekur di beranda loteng tua
hikmat merangkul benak
di balik jaket tebal
setengah botol sva?ák
menanti getir dingin lonceng
mengekalkan gema
di julang menara Malostranské Nám?stí
mungkinkah kupahami sedikit
risau anginmu yang meliuk
di warna-warni dedaun musim gugur
yang menyambutku
koper-koperku meringkuk
sebeku inikah awal kenangan hangat
yang kau tawarkan?
atau apa perlu,
aku meramu sendiri sebatang kayu manis,
anggur merah Moravia, biji pala, sesendok madu,
dan bunga kenari di bara kecil tungku
hingga di penghujung hayat
kucium wangi beku kota ini
di langkah sepi tangisan

Mira Astra
Praha, 2008

DUA SENDOK SERBUK KOPI DAN SESENDOK GULA
Pagi,
masih ku ingat bagaimana kau ajarkan aku
terjaga dari perca selimut yang membungkus rentang malam-malamku.
Dingin, buta berjalan menuju tungku
membakar senyap hingga jadi bara di titik beku.
Tanpa beralas kaki bisu ku sapa sumur di pekarangan belakang yang lengang
Seperti biasa sumur itu bertanya seberapa dalam
waktu yang dapat ku timba.
Hanya gigil dan rekah pipi
merah jambu yang dapat ku tawarkan sebagai jawaban yang kekal.

Di balik bilik, ku dengar kau igau takaran;
dua sendok serbuk kopi serta sesendok gula dalam gelas kopi kusam.
Air tertuang dan aku menunggu ketel mendenguskan nafasku buram
uap yang membakar sisi-sisi mimpi
mimpi yang tersobek dari perca selimut;
menyapa sumur di sujud sungkur di selaput fajar
mimpimu yang tercegat  terlampau bergegas ingin merangkum senja
terburu kau terbangun dengan warna terseduh
bukan dengan air yang terjerang di ketel,
bukan karena takaranmu namun hati mataharimu lah yang buat luka makin menganga

Bunga-bunga kopi menangis mengutuk pada pagi
meratapi serbuk-serbuk yang terlanjur kau cecap
sementara batang-batang tebu menaburkan manis jalang berpulang pada lautan.
dua sendok serbuk kopi dan sesendok gula, apakah yang tersisa di sana?

Mira Astra
Munduk, 13/11/11

GERHANAUntuk: Eric Eryanto

Jangan sekali kali kau meletakkan matahari, rembulan sejajar dengan bumi
karena aku baru saja terbangun
di subuh membaca mimpi yang belum jua usai ku tuai di ranjang ibu
aku ingin bangkit sebelum lolongan fajar dan terik rembulan mengepung
aku tak berdaya, lumpuh pada pagi
satu-satunya bayang yang ada adalah tonggak jembatan di ujung selatan desa
satu-satunya jembatan milik kita
dimana kita seberangkan kurir-kurir menuju pasar
riuh lalu lalang cengkerama buruh-buruh kasar
memecah kenangan yang katamu cuma sia-sia
Aku berlari ke pekarangan, namun tak seserpih benakmu pun memekar disana
tak seekor kupu-kupu dengan sayapnya yang rombeng menyapa
hampa adalah kelaparan yang mesti terbasmi
entah dengan apa ku ganjal
kegelapan tak membangunkan detakmu
ia tak jua menjelma jadi sepasang mata kekasih
Apakah kau berdiam jadi pasir hitam di dasar sungai itu
yang tak berhenti mengalir ke seberang desa
Apakah kau berdiri jadi pepohonan di montok lereng payudara bebukitan?
Aku terkepung dan terperangkap di gerhana
Dimana waktu jadi senyap, terhenti dan buta.
Mira Astra
Denpasar, 17 November  2011


BIODATA

MIRA ASTRA bernama lengkap Putu Mira Novianti. Untuk usuran tulis-menulis, selain Mira Astra ia kerap menggunakan nama Mira Antigone. Mira lahir di Denpasar, 25 April 1978. Setelah tamat dari SMAN 3 Denpasar, dia melanjutkan kuliah Filsafat di Charles University Prague/Praha, Republik Ceko, 2001-2004. Kemudian melanjutkan di Anglo-American University in Prague, bidang Humanity Studies.

Semasa SMA Mira meraih banyak preastasi di bidang sastra dan seni pertunjukan. Antara lain, dia pernah dinobatkan sebagai Aktris Terbaik I Pekan Seni Remaja (PSR) IX dalam pementasan "Bila Malam Bertambah Malam" karya Putu Wijaya; Pemain Wanita Terbaik I PSR XI dalam pementasan "GERR" karya Putu Wijaya, Juara I Lomba Operet Undiknas 1995 bersama TEATER TIGA, Pemain Wanita Terbaik Lomba Drama Modern (LDM) UNUD 1996 dalam pementasan "Bila Malam Bertambah Malam" karya Putu Wijaya, Juara II dan Juara Favorit Lomba Baca Puisi Sanggar Purbacaraka Faksas Unud 1997 dan Juara III Lomba Baca Puisi se-Indonesia Anugerah Bentara 2011

Mira pernah bergabung dalam Teater Wagiswari SMPN 10 Denpasar, Teater Tiga SMAN 3 Denpasar, dan Teater Agustus, Denpasar. Pernah pula mengurus majalah sekolah dan menjadi wartawan Wiyata Mandala semasa di SMA.

Karya-karya sastranya dipublikasikannya di Bali Post.  Sastrawan/penulis favoritnya, antara lain Milan Kundera, Paolo Coehlo, Thomas Mann, Naguib Mahfouz, Jane Sassons, Dan Brown.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingin Menulis?

Bagi siswa-siswi MANTASA GREEN yang ingin menuangkan karya tulisnya, baik cerpen, tulisan ilmiah, dan coretan hati, bisa juga kritik dan saran bisa dikirim ke email: mantasagreen@gmail.com.

Komentar Perasaan