Kata Pesan

SELAMAT DATANG DI DUNIA CERPEN KARYA SISWA MAN TULUNGAGUNG 1

Kamis, 12 Januari 2012

BUKAN RIBUAN MIMPI


 Karya Trijono, S.S.
Guru Sejarah MAN Tulungagung 1


Angan mengembara menembus ruang dan waktu. Terus berjalan menelusuri setiap celah dan ruang yang membelit bagai usus hingga ke rongga dadaku. Setiap perjalananku tampakhitam kemerahan. Kutemui banyak sosok di sna, hampir manusia. Saling mencakar, membelit, mencincang dan memangsa hingga belatung berlompatan dari wajah-wajah busuk menyengat. Anganku semakin tak terkendali. Bibir khayalku mulai terbuka, terburai bersatu dengan bayanganku.

Pikiranku mulai meronta, berlompatan saling menjejal. Tubuhku pun terasa telanjang dan bergulingan di cadas keras, terlibas sengatan matahari yang menyembul dari ubun-ubunku. ”Bangsat”, gerutuku gemas. Kemudian kuambil satu persatu anganku dan kukumpulkan dalam satu liang. Namun anganku tetap melayang, menggelinjang tak terkendali. Melesat bagai meteor. Jantungku berdegup kencang, seperti ritme kendang mengalun lepas.

Aku mulai panik,kurobek dadaku dengan jari-jari sembil terus menerus mencari jantungku. Kuraba rongga dadaku. Kosong....... kosong melompong tanpa isi. Jantungku tetap berdegup kencang, teratur berirama, ”Haram bangsat”, ujarku sambil terus menceracau takkaruan. Kumasukkan hampir seluruh lenganku, merogoh dalam tubuhku. ”hanya paru-paru”, ujarku geram,kemudian kulempar menjauhi tubuhku, tanganku terus mencari dan mencari hingga kelingkingku hampir tersangkut tulang iga. ”Bukan”, jeritku tertahan ketika tanganku menggenggam gumpalan lunak, mungkin ginjal. Aku tersipu malu. Seakan begitu banyak mata memandangku dengan curiga saat kubuang jauh-jauh sepotong ginjal yang mulai menghitam kelam.

”Rindu-rindu”, sapa halus menghentikaqn kerjaku. Pandangqanku mengabur mencari sebentukwajah lembut yang memanggilku. Tak seorangpun. Haqtiku menjadi gelap, kemudian terdengar suara lagi. Kutajamkan pendengaranku. Pletak.....pletok....pletak.....pletook...... suara sepatu bertumit tinggi sedang beradu dengan tegel. Percuma tak ada siapapun. Aku mulai jenuh menajamkan mata dan pendengaranku. Kubungkam erat-erat telingaku dan kupejamkan mataku.

Kembali tanganku menggerayangi bagian dalam tubuhku. ”Ah,....!” teriakku kencang sambil menggenggam sebongkah daging.. Naluriku benar, sebuah jantung. Aku mulai berlompatan kegirangan. Menari-nari bak anak kecil mendapat permen lolipop seharga seratus rupiah.
”Rindu.....Rindu.....”, bisik sebuah suara yang memanggilku. Suara itu datang lagi. Aku terhenyak sesaat, mendengar suara begitu halus menembus gendang telingaku. Seperti suara flute datu mungkin harmonika atau mungkin biola atau mungkin saxophone. Entahlah......, suara itu begitu indah menari-nari dalam telingaku. Sejenak aku merasa melambung jauh ke awang-awang dan duduk di atas segumpal awan. Tubuhku terasa ringan seperti kapas. Rasanya tubuhku seperti terhentak-hentak begitu saja, meski kini tak ada jantung yangberdegup kencang.

Kemudian aku tersadar, itu hanya suara,yang mungkin adalah suaraku sendiri. ”Rindu.....Rindu.....”, Panggil suara itu dengan suara yang semakin keras, namun tetap lembut. Rasanya bergidik bulu kudukku. Rambut kepalaku teras seperti tercerabut dari akarnya. Aku mulai muak, kucabut sandiri telingaku mencoba menghentikan suara itu. Tapi, suara itu tetap samar menembus telingaku. Malah suara itu kini terdengar seember, mungkin karena tak ada kuping telinga. Aku berpikir mungkin ayam-ayamku yang tak mau makan juga gara-gara tanpa daun telinga, hingga suara ajakanku makin sperti suara traktor yang menerjang gendang telinga mereka.

”Rindu......,” suara itu menghentak-hentak dalam telingaku, kemudian melesat menghentak-hentak jidatku yang mulai berlendir. Tok.....tok....tok....tok.....mirip suara ketukan hak sepatu beradu dengan jidatku. Suara-suar itu semakin keras mencengkeramku, membelitku dan menjatuhkanku dalam pusaran yang bening. Aku mulai merasa mual dan pening. Mataku mulai berkabut. Mendadak muncul bayangan-bayangan yang berkelebat. Kutatap dengan seksama setiap bayangan yang melintas. Terkadang seperti anak kecil berlompatan dalam parit yang kental dengan limbah pabrik, terkadang seperti anak-anak ayam yang menciap-ciap makan rumput dari beton menjulang dan terkadang juga muncul barisan gelandangan mengais makanan di emper toko.

Kupejamkan mataku dan kubuka kembali. Bayangan-bayangan tetap melintas bergantian dengan suara halus yang menikam uluh hatiku. Tampak bayaqng-bayang itu menyerupai tempat-tempat ibadah yang mulai hangus diterjang amukan manusia. Hatiku mulai padam, cintaku mulai kandas. Terasa lekat di bulu mataku, manusia-manusia kerdil saling memb elit, membetot, mencincang kemudian melenguh dalam dahaga.

”Selamat sore, Mas, dimana jalan tugu,”? Tanya seorang kusir dengan cambuk ditangannya. Aku tersentak, dengan gugup kugelengkan kepalaku tanda tak mengeti. Kupandang kereta yang kemudian perlahan dihadapanku dengan ditarik seekor kuda hitam berjurai perak. Kereta itu membawa sebuah peti berhias bunga-bunga kamboja dan rangkaian melati. Kupandang dengan seksama, ternyata peti itu adalah peti mati dengan ukuran besar terbuat dari kayu jati dengan emas dipinggirnya.

Mendadak kereta itu berbalik kearahkul lagi, ”Permisi, tolong tanya, dimana dokter terdekat ?”, ujarnya dengan suara serak dan berat. Kutatap orang itu, kembali aku gelengkan kepala. Tampak di wajah orang itu kesedihan yang mendalam. Tubuhnya yang ringkih terbalut sweater murahan berwarna kusam, terlihat kumuh.

”Anakku sedang sakit”, tuturnya seraya menunjuk ke arah peti. Aku terperangah, tanpa berkata-kata Ia menarikku dan menunjukkan padaku kesakitannya yang tersimpan dalam peti. Seorang anak terbujur kaku, dengan wajah yang mulai membiru dan darah mengucur dari lehernya yang hampir terputus. Sebuah biola terbaring dalam dekapan anak itu. Laki-laki tua itu kemudian menangis dalam tawanya yang aneh. Suara itu seperti asap membumbung ke langit. ”Dia anak kesayanganku, Ia sedang sakit,” kata Pak tua sambil tertawa terkekeh-kekeh dan naik ke atas kereta tuanya. ” Ia anak kesayanganku”, ujarnya berulang-ulang, Kupandang laki-laki tua itu dengan pandangan miris hingga kereta itu hilang dari pandangan.

Kembali aku terpengkur sendiri dengan cabikan-cabikan tubuhku. Suara-suara mulai menghilang namun bayangan tetap silih berganti mengusikku. ”Rindu....oh rindu......,” suara halus itu kembali menyetakku dari lamunan. Kali ini suara itu meluncur dari bibir mungil seorang gadis bertubuh meungil terbalut selembar kain transparan. Ia berjalan seakan meninggalkanku. Aku terpana untuk beberapa saat, memandangnya. Ku katakan pada diriku sendiri, ia hanya seorang gadis tanpa alas kaki dengan tubuh terbalut selembar kain. Tak lebih dan tak kurang.

Tapi Ia bagai seorang dewi dihadapannku, kulambaikan tanganku, ia mendekat, kuserahkan sepotong jantung dari tubuhku sendiri. Ia hanya tersenyum kemudian memasang jantung itu dalam tubuhnya hingga degup jantungku ada padanya. Aku mulai lemas, seperti ratusan belti menghujamku. Pandanganku semakin gelap sampai akhirnya gadis itu berlari meninggalkanku. Aku hanya mampu menatap punggungnya yang putih, hingga ia lepas dari pandanganku. ”Tunggu......, ayo kembali ke ruanganmu,” panggil seorang wanita berwajah indo dengan nada setengah membujuk. Aku terkejut, lamunanku langsung ambyar entah kemana......?! Aku kembali ke alamku, di mana angan seperti asap berputar dalam roda kegilaan. Tubuhku terasa ringan membawa kakiku melangkah dalam sebuah lorong. Aku bingung melihanya.

”Aku ada di mana, siapa kamu”, ujarku lirih sambil memandang wanita berbaju putih yang menggenggam erat jemariku dan menarikku meninggalkan jejak di tanah. Wanita itu tak menjawab pertanyaanku, ia terus brjalan menggandengku melewati lorong demi lorong yang gelap dengan bau formalin menyengat hidungku. Sekitarku hanya tembok-tembok putih berhias cat yang mulai mengelupas. Pandanganku menjadi kosong.

”Nah, tunggu, kamu duduk di sini saja, jangan ke mana-mana, nanti aku sibuk mencarimu,” tuturnya seperti seorang ibu pada anaknya. Aku semakin tak mengerti di mana aku berada. Aku juga tak mengerti mengapa wanita bergaun putih itu begitu perhatian padaku. Aku menjadi terharu, hampir-hampir air mata menetes dari ujung mataku. Namun, hanya darah bercampur pasir yang jatuh di pipiku. Anatara kebinggungan dan kepedihan, kupandang sekelilingku, yang tampak hanya hamparan pasir putih dengan ombak bergulung ditengahnya. Pasir begitu putih dan ombak menjadi mahkotanya> Sedangkan wanita itu hilang entah ke mana membawa segudang pertanyaanku yang disimpan rapi dalam sebuah kotak. Kucoba mancari jawabannya dalam batas semu antara sebuah tirai dan pijakan kaki. Kusadari, kini aku kembali menghitung semut dengan caraku sendiri.
SEKIAN


Dari,
Karya seorang Penulis, yang lagi belajar
Menulis dengan baik dan benar menurut
Ejaan dan kacamata seorang yang mencari
Identitas serta jati dirinya yang hilang sirna.
 Untuk itu penulis ini sedang mencari identitas diri
Dan jati diri sebagai seorang idealis terhadap semua

Kehidupan dan cinta kasih yang sangat menyesakkan dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingin Menulis?

Bagi siswa-siswi MANTASA GREEN yang ingin menuangkan karya tulisnya, baik cerpen, tulisan ilmiah, dan coretan hati, bisa juga kritik dan saran bisa dikirim ke email: mantasagreen@gmail.com.

Komentar Perasaan